LIMA SEKAWAN MENCARI WARISAN RATU petualangan baru Lima Sekawan ciptaan ENID BLYTON diceritakan oleh Claude Voilier ilustrasi oleh Jean Sidobre "LES CINQ SONT LES PLUS FORTS" by Claude Voilier Copyright © Librairie Hachette 1971 All rights reserved "LIMA SEKAWAN: MENCARI WARISAN RATU" dialihbahasakan dari edisi bahasa Jerman "DIE BERUHMTEN 5 ALS SCHATZSUCHER" oleh Agus Setiadi Edit by : zheraf http://www.zheraf.net DAFTAR ISI: Bab 1. Liburan Bab 2. Berkemah di Pulau Kirnin Bab 3. Rencana Jahat Bab 4. George Bercerita Bab 5. Memulai Penyelidikan Bab 6. Bu Killarney Bab 7. 'Mon Tresor' Bab 8. Timmy Beraksi Bab 9. Tempat Pertanian Bu Reynold Bab 10. Pertemuan Tak Terduga Bab 11. Perburuan Bab 12. Robert Bab 13. Tertangkap Bab 14. Penjahat Beraksi Bab 15. Akal Bu Grant Bab 16. Hidup Timmy! Bab 1 LIBURAN "Dick! Aku di sini! Ayo cepat, Anne - di situ masih ada tempat! Lekas naik, Julian! Nanti koper-koper kami sodorkan dari bawah!" George sibuk sendiri, sambil menunjuk-nunjuk tempat yang masih kosong dalam gerbong penumpang. Julian, saudara sepupunya yang paling tua, tertawa geli melihat kelakuan George. "Siap, Bu Jendral!" katanya sambil mengetukkan kedua tumit sepatunya. Ia bersalut, lalu masuk ke dalam gerbong kereta api. George tidak bisa sabar, seperti biasanya. Dengan rambutnya yang dipotong pendek serta wajahnya yang tegas, ia kelihatan seperti anak laki-laki. Dan ia memang lebih senang dikira laki-laki. Nama sebenarnya Georgina. Tapi kalau disapa dengan nama itu, mana mau ia menoleh! Biarpun yang memanggil gurunya di sekolah, ia tetap tidak mau menjawab. Karena itu semua menyapanya dengan George. George sebaya Dick. Kedua anak itu sering dikira kembar oleh orang-orang yang tidak mengenal mereka. Sedang Anne yang paling muda di antara mereka berempat. Anak itu lemah-lembut sikapnya - seorang gadis tulen! George sering memperlakukan saudara sepupunya itu seperti bayi saja. George, Dick dan Anne menyusul Julian, naik ke kereta api. Dick dan Julian menaruh koper-koper di tempat barang, di atas bangku-bangku kosong yang tadi dilihat George. "Huhh" desah George sambil miembanting badannya ke bangku kereta. "Sebentar lagi kereta berangkat. Untung kita bisa berlibur bersama-sama lagi, setelah begitu lama berpisah!" "Yang lebih untung lagi, ayah dan ibumu mau menerima kami bertiga selama liburan ini!" kata Dick bersemangat. "Aku senang sekali berlibur di tempat kalian," kata Anne sambil mendesah puas. "Pondok Kirrin sangat nyaman." "Yang paling kusenangi ialah bahwa laut begitu dekat dari situ," kata Julian. "Kita bisa sibuk terus, sehingga tidak ada waktu untuk merasa bosan! Tapi mudah-mudahan saja ayahmu saat ini tidak sedang sibuk dengan salah satu tugas penelitian yang rumit. Kalau ia sibuk, kita pasti harus berjingkat-jingkat lagi kalau berjalan, supaya ia tidak merasa terganggu. Paman Quentin kalau sudah marah galak sekali!" Saat itu George meloncat bangkit. Ia menjulurkan tubuhnya ke luar jendela. "Asyik! Kita berangkat," katanya sambil tertawa gembira. "Dua jam lagi kita akan sudah sampai di rumah. Aku sudah tidak sabar lagi, ingin cepat-cepat melihat Timmy! Selama di sekolah, aku selalu rindu padanya." Ketiga saudara sepupunya tertawa geli. "Kau ini tidak enak rupanya, kalau tidak ada Timmy," kata Dick mengganggu. "Betul,"jawab George berterusterang. "Timmy itu rasanya sudah menjadi sebagian dari diriku." "Perasaan kami juga begitu!" kata Dick. "Sebab kalau tidak begitu, kita ini bukan Lima Sekawan namanya. Lagipula Timmy pintar sekali - mungkin lebih pintar daripada kita!" "Itu betul! Ia sudah sering membantu kita dalam berbagai petualangan, apabila kita sedang terpojok dan tidak tahu akal lagi. Aku juga rindu pada anjingmu itu, George!" kata Julian sambil menganggukkan kepala. Sementara itu kereta api meluncur terus dengan laju. George tidak tahan duduk lama-lama. Ia berdiri lagi. Tapi karena buru-buru, terinjak olehnya kaki Dick. George menjangkaukan tangannya, supaya jangan jatuh. Tapi sayangnya rambut Anne yang panjang dan pirang yang terjangkau olehnya. "Aduh !" teriak Anne kesakitan karena dijambak itu. "Jangan lasak dong!" tukas Julian pada George. "Kau ini, seperti kena aliran listrik saja. Duduklah dengan tenang!" George duduk dengan segan-segan. Keningnya berkerut, sementara kedua tangannya dibenamkan dalam-dalam di kantong celananya. "Wah, wah! Sekarang Georgina cilik merajuk!" kata Dick menggoda. George semakin marah mendengar dirinya disapa dengan nama yang sangat dibencinya itu. Dengan cepat ia bangun sambil mengayunkan tangan, untuk menampar Dick. Tapi Dick cepat-cepat mengendap, mengelakkan pukulan itu. Ia tertawa mengejek. "Baru saja kita berjumpa lagi setelah sekian lama berpisah - masa sekarang sudah mulai bertengkar," kata Julian menggerutu. George duduk lagi di tempatnya dekat pintu. Mukanya masam. Ia membenamkan tangannya lagi ke dalam kantong. Tiba-tiba ia menyentuh secarik kertas yang ada di situ. Ia kaget, lalu cepat-cepat mengeluarken kertas itu. Ternyata surat! "Aduh aku sampai lupa pada surat ini," gumam George. "Datangnya sebenarnya sudah kemarin. Tapi karena begitu sibuk berkemas, aku sama sekali tidak sempat membukanya. Ibu yang berkirim surat. Pasti isinya seperti biasa, penuh nasihat. 'Jangan sampai ketinggalan kereta api', dan macam-macam lagi!" "Kalau begitu, suratnya sudah terlambat - karena kita sekarang sudah duduk di kereta," kata Anne sambil tertawa. "Tapi walau begitu kaubuka saja surat itu, George! Supaya kau bisa langsung memberikan jawabannya nanti, kalau ia menjemput di stasiun!" George mengeluarkan surat itu dari sampulnya. Ia membacanya sekilas, lalu berseru dengan nada kaget. "Astaga! Ini sama sekali tidak kusangka," katanya. "Wah, wah! Kalian mau tahu apa yang ditulis ibuku dalam suratnya ini?" Tanpa menunggu jawaban ketiga saudara sepupunya. Ia langsung menyambung, "Kita tidak bisa datang ke Pondok Kirrin!" "Apa?" seru ketiga sepupunya serempak. Semuanya agak bingung. "Mana mungkin - kita sekarang kan sudah dalam perjalanan ke sana! Lalu, apa yang kita lakukan sekarang?" "Hari Sabtu yang lalu Kirrin dilanda angin ribut," kata George menjelaskan. "Sebagian atap Pondok Kirrin terbang dibawa angin. Cerobong asapnya ada satu yang roboh. Pendek kata Pondok Kirrin berantakan. Sekarang tukang-tukang sedang sibuk bekerja di sana, sehingga tidak ada tempat untuk kita. Beberapa kamar yang utuh, dipakai sendiri oleh orang tuaku. Jadi kita terpaksa berlibur di tempat lain." "Tapi di mana?" tanya Dick sambil menggeleng-geleng. Kalimatnya itu tidak terjawab untuk sementara, karena tiba-tiba George sudah meloncat lagi ke jendela, sambil berteriak-teriak. "Kirrin! Itu Kirrin! He- kita sudah sampai. Aku sudah bisa melihat stasiun. Itu Ibu, berdiri di tepi peron. Wah - Timmy tidak diajaknya menjemput." Kereta api berhenti di stasiun. George langsung membuka pintu. Ketiga sepupunya dibiarkannya sendiri. George meloncat turun, lalu bergegas menghampiri ibunya yang langsung dirangkul olehnya. "Ah, Bu - senang sekali rasanya ada di rumah lagi! Bagaimana dengan Ayah? Kenapa ia tidak ikut menjemput? Kenapa ia ditinggal? Sekarang sedang dikurung dalam kandang, ya?" George begitu sibuknya, sehingga mencampuradukkan Ayah dan Timmy. Sambil tertawa geli, ibunya membebaskan diri dari rangkulan putrinya yang sangat bersemangat itu. "Aduh, bisa remuk badanku nanti kautekan," kate ibunya. "Ayahmu baik-baik saja, tapi seperti biasa Ia sibuk dengan buku-bukunya. Aku sengaja tidak membawa Timmy, karena aku tidak tahan mendengar keberisikan kalian apabila bertemu dia di sini!" Sementara itu Julian, Dick dan Anne sudah turun pula, membawa koper-koper mereka. Mereka menyalami Bibi Fanny. "Nah, Anak-anak!" kata Bibi. "Kenapa air muka kalian kelihatan agak aneh? Ada yang tidak beres barangkali?" "George tadi mengatakan bahwa kami sekali ini tidak bisa berlibur di Pondok Kirrin," kata Julian. "Kami sekarang tidak tahu ..." "Ah - kalau soal itu, kalian tidak perlu khawatir." kata Bibi Fanny sambil tertawa. "Kalian pasti bisa menikmati liburan, jadi tidak perlu merasa kecewa. Tapi sekarang cepatlah! Mobil sudah menunggu! Nanti kujelaskan lebih lanjut, di tengah perjalanan." Rombongan kecil itu pergi, keluar dan stasiun. Mereka langsung masuk ke dalam mobil yang diparkir di depan. Bibi Fanny duduk di belakang setir. "Kali ini kalian memang tidak bisa tinggal di Pondok Kirrin, karena sedang diperbaiki," kata Bibi. "Karena itu aku punya usul. Bagaimana jika kalian berkemah saja di Pulau Kirrin? Di pulau milik George! Kalian kan sudah beberapa kali mengalami hal-hal yang mengasyikkan di sana. Nah - kali ini kalian boleh berkemah di sana, hidup seperti orang yang terdampar di pulau terpencil. Seperti Robinson Crusoe!" Keempat remaja itu langsung berseru-seru karena gembira. "Asyik! Hebat! Setuju! Asyik, berkemah di pulau!" "Ya, itu sudah kubayangkan," kata Bibi Fanny sambil tersenyum. "Dan kalau ada apa-apa, kami kan tidak jauh. Tapi kurasa kalian takkan apa-apa di sana." "Soal itu gampang. Kan ada perahuku. Dan sepeda kami juga masih ada," kata George. "Makanan untuk bekal, bisa kami ambil dan desa." "Hidup di alam terbuka sehat! Nah - itu, Pondok Kirrin sudah nampak. Yuk, kita turun!" Di atap rumah nampak beberapa tukang sedang sibuk bekerja. Ketika mobil memasuki pekarangan, seorang laki-laki muncul di ambang pintu. ltulah Profesor Quentin Kirrin, ayah George. Ia menyongsong anak-anak yang turun dan mobil. Tiba-tiba sesuatu yang besar dan berwarna kekuning-kuningan nampak melesat, lari menuju ke arah George. Detik berikutnya wajah anak itu sudah habis dijilati. "Tim! Timmy yang manis! Aduh, senang sekali hatiku berjumpa kembali denganmu. Kau pasti rindu sekali padaku, ya Tim?" Anjing itu menggonggong-gonggong dengan gembira, sambil mengibaskan ekor dengan bersemangat. Setelah itu Timmy berganti menyambut Julian serta kedua adiknya. Sesudah upacara penyambutan meriah itu selesai, Timmy berpaling lalu berjalan ke rumah. Yang lain menyusul di belakangnya. Bab 2 BERKEMAH DI PULAU KIRRIN Siang itu mereka makan dengan lahap. Joanna, juru masak keluarga Kirrin, menunjukkan kegembiraannya atas kedatangan keempat remaja itu dengan jalan menghidangkan makanan yang enak-enak. Dan mereka menunjukkan penghargaan mereka, dengan jalan menyikat semuanya sampai habis. Sehabis makan, anak-anak pergi ke Pulau Kirrin dengan perahu. Timmy tentu saja ikut, karena tanpa dia tidak lengkaplah Lima Sekawan. Bibi Fanny dan Paman Quentin sama sekali tidak berkeberatan jika Timmy diajak. Mereka malah merasa lega. Karena kalau ada apa-apa nanti,Timmy pasti akan melindungi George serta ketiga saudaranya. Daerah sekitar Kirrin sebetulnya aman. Tapi siapa tahu.... Anak-anak memasukkan bawaan mereka ke dalam perahu milik George. Setelah itu mereka sendiri masuk dan duduk di sela-sela barang. Timmy ditugaskan untuk mengawasi kotak yang berisi bekal makanan. Dick dan Julian mendayung bersama-sama. George duduk di buritan sambil memegang kemudi. Anne tidak kebagian tugas. Karena itu ia duduk-duduk saja, sambil menikmati pemandangan laut yang biru. Burung camar terbang menyambar-nyambar sambil berteriak-teriak dengan suara serak. Mereka sibuk mencari makan di permukaan laut yang saat itu tenang. Pulau Kirrin terletak beberapa ratus meter di tengah teluk. Letaknya tepat berhadapan dengan Pondok Kirrin. Di sebuah rumah perahu yang terdapat di pantai teluk itu disimpan sepeda anak-anak dalam keadaan siap untuk dipakai. Anak-anak gembira sekali saat itu. Mereka mulanya sama sekali tidak mengira akan berkemah di Pulau Kirrin! Tidak lama kemudian mereka tiba di pulau itu. Mereka langsung berkeliling, mencari tempat berkemah yang enak. Mereka sudah cukup sering datang ke situ. Tapi setiap kali mereka selalu kagum lagi, melihat keindahan pulau milik George itu. Kelinci-kelinci liar berlarian di tengah rumput yang panjang dan lebat. Burung gagak terbang berkawan-kawan, berkaok-kaok mengelilingi reruntuhan puri yang menjulang di tengah pulau. "Kau beruntung. George - memiliki pulau seindah ini!" kata Anne sambil mendesah kagum. "Ya, memang," kata George. "Orang tuaku baik hati, mau menghadiahkannya padaku." Keempat remaja itu masuk ke pekarangan dalam puri, lewat di bawah suatu lengkungan besar dari batu yang dulunya merupakan ambang pintu gerbang puri. Ubin lantai di situ sudah pecah-pecah. Rumput tumbuh di celah-celah pecahan. Di seberang halaman tampak gerbang ruang kesatria yang luas. Mereka masuk ke ruangan itu. "Atap di sini masih utuh, begitu pula dindingnya," kata George. "Kalau cuaca berubah, kita bisa berteduh di sini. Pasti tidak basah!" "Aku lebih senang tidur di luar, dalam kemah," kata Anne dengan malu-malu. "Perasaanku tidak enak di sini, apabila angin bertiup malam hari. Suaranya menyeramkan!" "Penakut" kata Dick mencemooh. "Aku malah senang di sini. Kapan-kapan kita juga perlu memeriksa sel-sel kurung di bawah tanah. Bagaimana, George?" "Aku mau saja. Memang sudah lama kita tidak ke sana. Tapi sekarang kita pasang dulu kemah kita. Yuk!" Anak-anak bekerja dengan rajin. Mereka memindahkan segala perbekalan dari perahu ke satu-satunya ruangan puri yang masih beratap dan berdinding. Mereka membuat tempat perapian untuk memasak, di tengah pekarangan dalam. Setelah itu mereka mencari sudut yang tidak banyak anginnya. Di situ mereka memasang kedua tenda mereka. Malam itu mereka tidur nyenyak sekali dalam tenda. George serta ketiga sepupunya berminpi tentang berbagai petualangan yang asyik. Sedang Timmy mimpi tentang kelinci-kelinci liar, yang menunggu-nunggu untuk diburu olehnya. Keesokan paginya Dick mengambil air dari suatu sumber, sementara Anne menyiapkan sarapan. Hari pertama mereka di pulau itu berlalu dengan cepat sekali. Keempat remaja itu asyik bermain-main dan berjalan-jalan. Cuaca hari itu cerah sekali. Matahari bersinar di langit yang bersih tak berawan. Anak-anak kepanasan karenanya. Berulang kali mereka menceburkan diri ke laut, untuk menyegarkan tubuh. Siang keesokan harinya mereka pergi dengan perahu ke darat, untuk melaporkan keadaan mereka pada Bibi Fanny dan Paman Quentin. Sekaligus mereka juga hendak menambah perbekalan makanan yang sudah agak menyusut. Untuk itu mereka ke desa, naik sepeda. Ah - menyenangkan sekali liburan seperti itu, pikir meneka. Ketika sudah kembali di pulau, George yang tidak pernah bisa diam, mengusulkan permainan sembunyi-sembunyian sampai saat makan malam. "Aku sendiri yang bersembunyi, sedang kalian bertiga mencari," katanya. "Taruhan, tidak akan ketemu! Tapi Timmy tentu saja harus diikat dulu. Kalau ia dibiarkan bebas, kalian akan terlalu gampang nanti. Ia pasti bisa mengendus di mana aku bersembunyi. Nah, aku pergi sekarang! Kalian harus menghitung dulu sampai seratus lima puluh. Sesudah itu silakan mencari - sampai pusing!" Tanpa menunggu lagi, George langsung lari dengan gembira. Ia membayangkan, ketiga sepupunya pasti nanti tidak bisa menemukan tempat persembunyiannya. George menemukan tempat itu secara kebetulan tadi pagi. Ia lari menuju ke pinggir tebing yang menjorok ke depan, ke arah laut. Letaknya di belakang puri. Sisi tebing curam sekali. George tidak kenal takut. Dengan hati-hati ia mulai menuruni tebing itu. Ia merangkak-rangkak ke bawah. Kira-kira setengah jalan ia sampai di suatu bagian yang agak masuk ke dalam. George masuk ke celah tebing itu. Di situ ia memang tidak bisa kelihatan, baik dari atas maupun dari bawah. Beberapa saat kemudian ia mendengar suara Julian berbicara di atas tebing. "George mestinya ada di sekitar sini," kata Julian. "Mana mungkin!" bantah Dick. "Tanah di tepi tebing ini datar sekali. Dan tidak mungkin George bersembunyi dalam liang kelinci." George yang bersembunyi di bawah mereka, mendengar suara kedua saudara sepupunya itu menjauh lagi. Ia tertawa sendiri. Ia menduga. Julian dan Dick pasti hendak mencari ke tempat lain sekarang. Jauh di bawah kaki George, air laut nampak kemilau kena sinar matahari musim panas. Tiba-tiba George melihat suatu titik hitam di tengah laut. Titik itu bergerak, mendekati pulau. "Eh - ada perahu kemari! Mau mencari apa di sini?" pikir George. Bab 3 RENCANA JAHAT Sementara itu perahu yang datang semakin mendekat. George melihat ada dua orang laki-laki dalam perahu itu. Laki-laki yang mendayung, duduk dengan punggung menghadap ke pulau. Ia bertubuh kurus jangkung. Rambutnya lebat, berwarna rnerah nyala. Sedang laki-laki yang satu lagi bertubuh gempal. Kepalanya kekar, nyaris persegi empat. Haluan perahu kini mencecah pasir pantai kecil yang terdapat di kaki tebing curam tempat George sedang bersembunyi. Dari tempatnya itu ia tidak bisa lagi melihat kedua laki-laki yang datang secara diam-diam itu. Tapi George menyadari bahwa keduanya hendak naik ke darat. Dugaannya ternyata benar. Sesaat kemudian ia mendengar suara mereka berbicara. Satu di antaranya kedengaran seperti orang asing, dari logatnya. "Hebat, Leo!" kata orang itu. "Tepat sekali kau memilih tempat ini. Di sini kita tidak usah takut ada orang muncul dengan tiba-tiba. Jadi kita bisa berunding dengan leluasa." "Ya, pulau ini tidak didiami orang. Pemiliknya boleh dibilang tidak pernah datang ke sini," kata orang yang satu lagi. "Dan dinding tebing ini takkan membocorkan rahasia kita!" George merasa tidak enak. Ia sama sekali tidak bermaksud mendengar pembicaraan orang lain. Karena itu ia hendak menampakkan diri, supaya kedua laki-laki itu tahu di situ ada orang lain. Tapi dengan segera George mengurungkan niatnya, karena saat itu juga ia mendengar kata-kata yang mencurigakan. Kini ia malah memasang telinga. "Syukurlah," kata laki-laki yang pertama berbicara. "Karena kejahatan yang sedang kita rencanakan, tidak boleh sampai ketahuan orang lain!" "Kejahatan?" Orang yang bernama Leo tertawa agak mengejek. "Kenapa kejahatan? Itu kan tergantung melihatnya dari sudut mana, Pak Herman! Bagi calon korban kita rencana itu tentu saja merupakan kejahatan. Tapi bagi kita, sebaliknya"Leo tertawa terbahak-bahak. "Sudah, jangan melucu lagi!" tukas laki-laki yang disebut Pak Herman. "Sudah jelas bahwa korban kita nanti tidak akan bertepuk tangan dengan gembira. Sedang bagi kita, aksi ini jelas menguntungkan.... Tapi masih ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan masak-masak. Sekarang sudah awal bulan Juli. Sedang rencana itu akan kita laksanakan tepat tanggal 30 nanti!" "Ya, aku tahu! Kita memang perlu merencanakan segala sesuatunya, supaya jangan ada yang meleset nanti." George duduk tanpa bergerak sedikit pun di tempat persembunyiannya. Seluruh syarafnya tegang saat itu. Baginya tidak ada keragu-raguan lagi bahwa kedua laki-laki yang ada di bawah itu sedang merencanakan salah satu tindakan jahat. Apabila angin tidak berputar arah, mungkin ia akan masih bisa ikut mendengarkan apa yang akan mereka rencanakan selanjutnya. Mudah-mudahan Julian, Dick dan Anne tidak datang lagi ke situ untuk mencariku, pikir George dengan cemas. Kalau kedua laki-laki yang di bawah mendengarsuara mereka bercakap-cakap di atas tebing, pasti mereka akan cepat-cepat pergi dan situ! George mendengarkan lebih lanjut, dengan perasaan tidak sabar. Kedua laki-laki yang tidak menduga bahwa ada yang ikut mendengarkan percakapan mereka, melanjutkan berunding. "Menurut pendapatku, aksi kita nanti itu sama sekali tidak ada bahayanya." kata Herman, yang bersuara serak. "Apabila keteranganmu betul...." "Tentu saja betul, Pak Herman! Aku sendiri sudah meneliti. Rumah itu terpencil letaknya. Jarang sekali orang datang ke situ. Bahkan saat ramai-ramainya orang berlibur di sini, masih tetap sepi. Turis pergi ke tempat lain kalau ingin mandi-mandi di laut. Jadi kita bisa beraksi dengan tenang, tanpa risiko diganggu!" "Aku cuma kurang senang bahwa kita harus menunggu sampai akhir bulan." "Apa boleh buat, Pak - baru tanggal 30 itu Robert bisa membantu kita. Sedang kita memerlukan bantuannya, agar semua bisa berjalan lancar dan tanpa risiko!" "Aku tahu, Robert memang kita perlukan," kata Pak Herman. "Jadi apa boleh buat - kita terpaksa menunggu selama itu." Sementara itu Julian, Dick dan Anne sudah berkeliaran ke mana-mana, mencari sepupu mereka yang bersembunyi. "Keterlaluan!" umpat Dick. "Sudah dua puluh menit kita memeriksa setiap sudut pulau ini! Tapi George masih belum juga kita temukan!" "Kurasa ia bersembunyi dalam lorong di bawah tanah," kata Anne dengan ragu. "Tapi aku tidak mau ikut mencarinya ke situ!" "Jadi kauanggap ia ada di bawah tanah, Anne?" Julian menggelengkan kepala, tanda tidak sependapat. "Menurut pendapatku, kita tidak harus mencarinya dalam puri, melainkan di seberang pulau. Tadi aku merasa seolah-olah George lari ke arah sana!" "Masa bodoh apa pendapatmu," kata Dick. "Pokoknya, aku mencari terus di sini. Kau ikut, Anne?" "Tentu saja," jawab Anne. "Baiklah," kata Julian. "Kutemani kalian sepuluh menit lagi. Apabila saat itu George masih juga belum kita temukan, aku hendak pergi mencari ke tebing!" Ketiga hersaudara itu mencari-cari lagi. Tapi bagaimana dengan Timmy sementara itu? Ia diikatkan pada sebuah tonggak, di samping tenda George. Anjing itu mengendus-endus dengan gelisah. Ternyata dari baunya ia sudah lama tahu di mana tuannya saat itu berada! Coba ia tidak diikatkan ke tonggak - dengan cepat George akan sudah ditemukan olehnya! Tiba-tiba Timmy mendengking pelan. Ujung hidungnya yang hitam bergerak-gerak. Timmy merasa takut. George terancam bahaya! Saat itu George memang sedang gelisah. Anak itu menyadari bahwa ia telah terlalu banyak tahu tentang rencana kedua penjahat yang sedang berunding di bawah. Jika keduanya secara kebetulan melihatnya, pasti mereka takkan memperlakukan dirinya dengan halus. Ia menimbang-nimbang. Kedua laki-laki yang berada di bawah takkan bisa melihat dirinya di tempat persembunyian. Tapi tempat itu sangat sempit. Kakinya mulai kesemutan. Kalau ia menggerakkannya lalu ada batu yang tersenggol sehingga jatuh berguling ke bawah.... George tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Dengan hati-hati sekali ia menjulurkan kaki yang kesemutan. Sementara itu ia terus berusaha menangkap pembicaraan kedua laki-laki itu. Tapi malang baginya, angin berputar arah. Sebagai akibatnya suara kedua orang itu hanya sayup-sayup saja sampai di telinganya. "Wanita itu kan tinggal seorang diri saja di purinya," kata Leo saat itu. "Jadi sama sekali tidak ada problem." "Dasar orang sinting!" tukas laki-laki yang bernama Herman. "Salahnya sendiri kalau dirampok nanti. Untuk apa kotak permatanya disimpan dalam rumah, tanpa penjagaan?" Angin bertiup agak keras, sehingga George hampir-hampir tidak mendengar kalimat yang diucapkan oleh Leo. ".... kabarnya jamrud yang benar-benar luar biasa...." "Betulkah itu perhiasan warisan keluarga?" "Ya...Ratu Victoria... dihadiahkan pada seorang moyang wanita di pun itu... jasanya pada kerajaan...." "Nekat... barang begitu disimpan di rumah... mentang-mentang daerah aman." Angin semakin keras bertiup, sehingga percakapan kedua laki-laki itu kini sama sekali tidak bisa didengar lagi. Tapi sudah cukup banyak yang diketahui oleh George. Kini ia sudah yakin bahwa kedua laki-laki itu sedang merencanakan perampokan. Tapi sayangnya, mereka sama sekali tidak menyebutkan nama wanita yang akan menjadi korban. George sudah hampir tidak tahan lagi meringkuk dalam tempat persembunyiannya. Seluruh tubuhnya terasa pegal. Ia memberanikan diri, menjulurkan badan ke depan untuk memandang ke bawah. Ah - syukurlah, pikirnya. Dilihatnya kedua laki-laki itu berdiri, lalu mendorong perahu ke air. Saat itu angin bertiup dari arah laut. George berhasil menangkap kata-kata yang diucapkan kedua penjahat itu, sebelum mereka naik ke perahu. "Kita langsung menuju ke pantai!" kata laki-laki yang bertubuh kekar. "Baik Pak," jawab laki-laki jangkung yang berambut merah. Jadi laki-laki berambut merah itu yang bernama Leo, kata George dalam hati. Kalau begitu yang satu lagi pasti bernama Herman. Kelihatannya ia-lah pemimpin di antara keduanya. George berusaha mengenali wajah Leo. Tapi saat itu hari sudah senja. George hanya bisa melihat bentuk kepala kedua laki-laki itu saja. Perahu kedua penjahat bergerak menjauhi Pulau Kirrin. Tapi George masih tetap menunggu beberapa saat lagi di tempat persembunyiannya, sebelum ia berani merentangkan tungkainya yang terasa kaku sekali. Tiba-tiba George terkejut sendiri. Kalau Julian, Dick dan Anne merasa bosan karena masih saja belum berhasil menemukan tempat persembunyiannya, ada kemungkinannya mereka akan berteriak-teriak memanggilnya supaya keluar. Sedang kedua penjahat yang saat itu belum begitu jauh, sudah jelas tidak tuli. Mereka juga bukan orang yang bodoh. Jadi pasti mereka akan segera tahu bahwa di pulau ada orang. Mereka tentu akan datang kembali, karena khawatir ada yang ikut mendengarkan pembicaraan mereka tadi. Dan kalau mereka naik ke tebing untuk memeriksa dan menemukan dirinya di situ.... George merinding karena merasa seram. Ia harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Ia merangkak keluar dari celah tebing, lalu mulai memanjat ke atas dengan hati-hati. Kalau sedikit saja salah pijak atau berpegang, pasti tanpa ampun lagi badannya akan terbanting ke batu-batu yang menunggu di bawah. Hiii - ia tidak boleh memikirkan kemungkinan demikian saat itu. Ia harus memusatkan seluruh perhatiannya untuk memanjat. Sedikit demi sedikit ia merayap naik, dengan jantung berdebar keras. Akhirnya ia sampai juga di tepi atas tebing itu. George menghembuskan napas lega. Kini ia sudah selamat! Tapi ia tidak mau membuang-buang waktu. Walau jantung masih berdebar sebagai akibat ketegangan tadi, George cepat-cepat lari menuju reruntuhan puri kuno. Bab 4 GEORGE BERCERITA Ketika mengitari suatu semak, nyaris saja ia bertubrukan dengan Julian, yang ternyata sedang mencari-cari dirinya di tempat itu. "George!" seru Julian kaget."Muncul juga kau akhirnya! Di mana kau bersembunyi selama ini? Dick dan Anne saat ini sedang mencari-cari di seberang sana! Tapi aku dari semula sudah merasa bahwa kau akan kutemukan di sini!" "Wah Julian - coba kau tahu..." Walau saat itu sudah agak gelap, tapi Julian masih dapat melihat bahwa wajah George pucat-pasi. Saudara sepupunya itu nampak seperti cemas dan bingung. Rupanya ia baru saja kaget - karena sesuatu hal. "Ada apa, George? Kau tidak sakit, kan?" "Bukan sakit, tapi bingung dan cemas! Dan itu ada sebabnya!" kata George. "Secara kebetulan saja aku tadi menjadi saksi dari suatu peristiwa yang sangat misterius. Tapi yuk, kita kembali saja dulu - nanti kalau kita sudah berkumpul semua, akan kuceritakan apa yang kualami tadi!" Dengan cepat George dan Julian berjalan ke puri tua. Anne dan Dick ternyata sudah lebih dulu ada di sana, karena tidak berhasil menemukan George di balik pulau. Ketika mereka melihat Julian datang bersama George. keduanya berseru-seru. "Hebat, Julian! Ternyata kau berhasil juga menemukan George?" "Kami tadi sudah agak cemas memikirkan dirimu!" kata Anne berterus terang. Anak itu memang cepat sekali khawatir, jangan-jangan terjadi apa-apa yang tidak enak. "Julian hanya berhasil menemukan diriku, karena aku yang keluar dari tempatku bersembunyi tadi. Kami nyaris bertubrukan di tengah jalan!" kata George yang napasnya masih terengah-engah. Ia menjatuhkan diri ke rumput. "Coba aku tadi tetap di tempat persembunyianku, biar sepanjang malam kalian mencari, takkan mungkin bisa ketemu!" "Alaa, aksi!" kata Dick sambil tertawa. "Kalau tempat itu benar-benar tidak bisa ditemukan, kenapa kau tidak lebih lama bersembunyi di situ dan membiarkan kami mencari terus?!" "Kalau kukatakan bahwa kalian pasti takkan bisa menemukan diriku, percaya sajalah! Kau kan tahu, aku tidak pernah bohong!" Anne melihat gelagat yang tidak enak. Ia merasa bahwa George mulai marah karena diganggu oleh Dick. Jangan-jangan keduanya akan bertengkar lagi sekarang, pikirnya. Karena itu ia cepat-cepat memotong. "Tentu saja kami percaya, George," kata Anne. "Tapi sekarang ceritakan, apa sebabnya kau tiba-tiba meninggalkan tempat persembunyianmu itu." George langsung lupa pada kemarahannya. "Aku tadi menjadi saksi rencana jahat" katanya. Ketiga sepupunya memandangnya sambil melongo. "Rencana jahat? Apa maksudmu?" "Ketika aku bersembunyi tadi, secara kebetulan aku mendengar pembicaraan dua orang penjahat. Mereka sedang merencanakan perampokan. Mereka hendak merampok harta keluarga seseorang. Tentu saja kita harus bertindak, mencegah rencana itu. Tunggu, aku hendak melepaskan Timmy dulu. Setelah itu kuceritakan segala-galanya!" George melihat bahwa Timmy sejak tadi sudah berusaha melepaskan diri dari tali yang mengikatnya ke tonggak tenda. Begitu George melepaskan ikatan, dengan segera Timmy melonjak ke arah tuannya. Nyaris saja George jatuh terguling di terjangnya. "Tenang. Timmy! Aduh, kau ini kalau senang tidak kenal batas!" kata George sambil tertawa-tawa. Ia menggaruk-garuk tengkuk Timmy. .Julian dan Dick pergi mengumpulkan kayu kering, lalu menyalakan api unggun dengan bantuan Anne. "Biarpun sekarang musim panas, tapi malam di tempat terbuka begini biasanya dingin," kata Julian. "Dengan api unggun kita akan tetap hangat, sedang Anne bisa menyiapkan makanan untuk kita. Sementara itu cukup waktu untuk mendengarkan cerita George." Sementara itu hari sudah benar-benar gelap. George meletakkan dahan-dahan kering, sehingga kobaran api semakin membesar. Dick merasa tidak sabar melihat kelakuan sepupunya itu. "Ayo, mulai saja dengan ceritamu itu!" katanya pada George. Ia duduk di atas sebatang kayu yang roboh, sambil menjulurkan kaki. "Ya, betul - aku pun kepingin sekali mengetahui apa yang kaualami tadi," kata Anne. George duduk bersila di tanah, sambil merangkul leher Timmy. Setelah itu ia mulai menceritakan pengalamannya.... Ketiga sepupunya mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika George selesai bercerita, Julian berseru dengan nada lega. "Untung saja kedua penjahat itu tidak melihatmu!" serunya. "Jadi mereka tidak sadar bahwa rahasia mereka sudah kita ketahui. Mereka merasa diri mereka aman! Sedang bagi kita, hanya ada satu kemungkinan yang harus kita kerjakan. Kita harus mencegah terlaksananya niat jahat itu!" "Ya - kita harus cepat-cepat melaporkannya pada polisi!" kata Anne. "Ayo. sekarang saja kita berangkat!" Tapi George menggeleng. "Jangan konyol, Anne!" tukasnya. "Dari kedua penjahattadi, aku kan hanya tahu nama depan mereka saja. Aku tidak tahu tempat tinggal mereka, begitu pula siapa wanita yang akan mereka rampok. Kita pasti akan ditertawakan polisi, jika menyampaikan laporan dengan dugaan-dugaan serta keterangan yang begitu sedikit?" "Tapi setidak-tidaknya kita perlu memberitahu Paman Quentin!" kata Anne berkeras. "Paman pasti tahu apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi kejadian seperti begini." "Kau ini bagaimana, Anne," kata George dengan kesal. "Jika aku melaporkan apa yang kudengar tadi pada Ayah, ia pasti akan kembali mengatakan bahwa aku terlalu banyak berkhayal. Jangan-jangan aku bahkan dimarahinya pula. Kau tahu sendiri, bagaimana galaknya ayahku kalau sudah marah." Julian memandang arlojinya, lalu berdiri. "Ketegangan tadi mestinya membuat kau merasa lapar, George," katanya. "Yuk, kita makan saja dulu sekarang. Sesudah itu kita rundingkan apa yang harus kita lakukan dengan kejadian tadi. Kalau perut sudah tidak keroncongan lagi, biasanya pikiran bisa lebih jernih." Usul Julian itu diterima dengan suara bulat. Tapi ketika mereka sudah selesai makan, perundingan diteruskan lagi. "Nah," kata Julian, "apa saja yang sudah kita ketahui sampai saat ini? Kita tahu bahwa ada dua laki-laki bernama Leo dan Herman, yang merencanakan perampokan, dengan bantuan orang ketiga bernama Robert. Korban yang dituju seorang wanita yang tidak kita ketahui orangnya. Wanita itu mestinya tinggal di sebuah puri. Atau mungkin jugs rumah besar! Rumah besar kadang-kadang dinamakan puri, secara iseng. Nah - tanggal perampokan juga sudah kita ketahui, yaitu 30 Juli. Betul kan, George?" "Tepat! Tapi masih ada tambahan lagi. Kita juga sudah tahu bahwa para perampok itu mengincar perhiasan yang sangat berharga. Dan wanita korban mereka tinggal sendiri dalam purinya, yang terletak di sekitar sini." "Itu merupakan petunjuk-petunjuk penting bagi pengusutan kita nanti," kata Dick. "Kita kan sependapat bahwa kita akan mengadakan penyelidikan mengenainya?" "Tentu saja!" kata saudara-saudaranya serempak. Malam itu mereka tidak lekas-lekas tidur. Mula-mula mereka pergi ke pantai sempit, di mana kedua penjahat tadi duduk memperundingkan rencana jahat mereka. Dengan bantuan senter anak-anak memeriksa setiap jengkal tanah di situ. Mereka mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa di situ. Kemudian George menyuruh Timmy mencium jejak para penjahat itu, yang nampak di pasir. Timmy mengendus-endusnya sesaat, lalu menggonggong-gonggong dengan galak. "Ya, Timmy sudah mengerti?" seru George gembira. "Sekarang biar dari jauh pun, ia pasti bisa mengenali meraka lagi. Ia sudah tahu bagaimana bau mereka!" Setelah itu anak-anak kembali ke perkemahan mereka. Mereka hendak membicarakan siasat terbaik untuk bisa mengetahui letak puri yang terpencil itu, serta siapa wanita yang memilikinya. "Kurasa pertama-tama kita harus terlebih dulu menyelidiki, siapa wanita penghuni puri yang dibicarakan kedua penjahat itu," kata Julian. "Atau bisa juga, puri mana yang mereka maksudkan." "Di daerah sini banyak sekali terdapat gedung yang besar-besar milik orang-orang kaya," kata Anne sambil mengeluh. "Dan hampir semuanya dinamakan puri" "Ya, betul," kata George. "Bahkan rumah yang agak besar pun, sudah disebut 'puri'" "Atau mungkin juga itu rumah besar di suatu pertanian," kata Dick. "Pokoknya, yang jelas penyelidikan kita nanti tidak akan mudah!" "Kita juga perlu mencari seorang wanita, yang tinggal seorang diri di rumah yang besar," kata George. "Kita juga perlu menyelidiki apakah wanita itu menyimpan harta warisan keluarga di rumahnya." "Dan apakah harta itu berupa batu-batu jamrud," sambung Anne. "Nanti kalau kita sudah berhasil mengetahui siapa calon korban Leo dan Herman, lantas kita harus memberi tahu wanita itu tentang rencana perampokan kedua penjahat itu. Selanjutnya bisa kita serahkan pada polisi untuk ditangani," kata Dick. "Polisi tinggal memasang jebakan, sehingga para penjahat tertangkap tangan sewaktu hendak melaksanakan perampokan," kata Julian. George menggigit-gigit batang rumput, sambil berpikir. "Sedari tadi aku sudah berpikir-pikir," katanya, "siapa sebenarnya Robert yang dibicarakan kedua penjahat itu! Ia pun belum kita ketahui. Apa sebabnya ia hanya bisa membantu perampokan yang direncanakan oleh Leo dan Herman pada tanggal 30 Juli saja - dan tidak pada hari-hari lainnya? Kenapa? Ah - aku capek. Lebih baik kita tidur saja sekarang! Besok kan masih ada waktu lagi!" Bab 5 MEMULAI PENYELIDIKAN Ketika anak-anak bangun keesokan paginya, matahari ternyata sudah agak tinggi. Mereka bergegas pergi ke sumber untuk menggosok gigi dan mencuci muka. Setelah itu mereka sarapan. Mereka sudah lapar lagi. "Kau sudah menemukan jalan, George?" tanya Dick sambil mengunyah roti. "Maksudmu, bagaimana sebaiknya kita memulai penyelidikan kita?" balas George bertanya. "Kalau itu yang kaumaksudkan, jelas dong! Menurut pendapatku, sehabis sarapan ini kita langsung saja pergi ke darat. Di sana kita mencari-cari sepanjang pesisir. Puri misterius itu letaknya pasti di daerah yang tidak banyak didatangi orang. Itu saja pasti akan sudah menyibukkan kita, untuk sementara!" Julian langsung setuju. Menurut pendapatnya, ide itu bagus sekali. Ia juga berpendapat bahwa mereka harus langsung berangkat sehabis makan. "Waktu kita tidak banyak." katanya. "Menurut rencana mereka,perampokan akan dilakukan tanggal 30 Juli. Sedang petunjuk-petunjuk yang kita ketahui untuk memulai penyelidikan, tidak bisa dibilang jelas." Dengan cepat keempat remaja itu membereskan sisa-sisa sarapan, lalu bergegas pergi ke teluk kecil di mana perahu ditaruh di atas pasir. "Untung saja kedua laki-laki kemarin itu datang ke pantai di balik pulau ini," kata Julian dengan lega. "Coba mereka kemari, pasti dengan segera akan tahu bahwa mereka tidak sendiri di tempat ini" Perahu George yang diberi nama 'Topan' ditarik masuk ke air. Setelah itu mereka cepat-cepat berdayung ke arah darat, langsung menuju rumah perahu milik orang tua George. Sesampai di sana perahu ditambatkan, dan mereka mengeluarkan sepeda-sepeda mereka. George mengambil peta daerah situ yang disimpan dalam rumah perahu, lalu membentangkannya di atas pasir yang lembut. "Lihatlah," katanya pada ketiga sepupunya. "Kita sekarang di sini - dan ini desa Kirrin. Kita tidak usah mencari ke arah selatan, karena pantai di situ penuh dengan tempat-tempat pemandian yang ramai dikunjungi orang. Satu-satunya daerah yang agak sunyi di sebelah situ hanya Padang Liar. Letaknya agak di pedalaman. Menurut pendapatku, pertama-tama kila harus mencari gedung besar yang mungkin disebut puri. "Ya, betul," kata Dick sambil mengangguk. "Di daerah yang namanya 'Padang Liar' hampir tidak ada pedesaan. Atau setidak-tidaknya, pada peta ini tidak tertera pedesaan di daerah situ." "Di utara juga tidak," kata Julian. Dengan telunjuknya ia menelusuri garis pesisir pada peta. "Terus sampai Tanjung St. Patrik - yang letaknya lumayan jauhnya dari sini - pesisir daerah sini kelihatannya tidak didiami orang. Tempat yang bagus sekali untuk perampokan." "Itu bisa kubayangkan," kata Anne sambil bergidik. "Seorang wanita yang hidup seorang diri di daerah yang begitu terpencil, pasti menarik minat penjahat untuk merampoknya!" "Sudah, jangan kauteruskan - nanti kau takut sendiri," tukas George. Peta itu dilipatnya kembali, "Nah - dari mana kita memulai penyelidikan kita sekarang?" "Sebaiknya dari Padang Liar saja," kata Julian menyarankan. "Setelah itu kita berbelanja di Kirrin." Anak-anak langsung berangkat dengan sepeda. Timmy berlari-lari dengan gembira mendampingi mereka. Di samping mengejar kelinci, ia paling suka berlomba dengan sepeda. Sekali-sekali anjing itu menyimpang sebentar ke tepi jalan. Perbuatannya untuk beberapa kali menyebabkan ayam-ayam berkotek-kotek ketakutan. Ada pula kelinci-kelinci liar, yang langsung melesat masuk ke dalam liang mereka ketika melihat Timmy.... George dan ketiga saudara sepupunya bersepeda melewati desa Kirrin yang indah, melewati pasar dan menuju ke 'Padang Liar'. Daerah itu sangat sunyi dan suram. Bahkan agak menyeramkan. Anne celingukan. Ia merasa ngeri. "Hii - seram rasanya tempat ini!" katanya. "Padahal matahari, bersinar cerah!" kata Dick. "Bayangkan bagaimana keadaannya malam hari. Aku tidak bisa membayangkan, ada orang mau tinggal di daerah sesunyi ini!" "Kau salah sangka," kata George. "Kenapa baru sekarang aku ingat?! Tapi memang tidak ada lagi yang ingat pada puri tua itu! Orang sini sudah melupakannya!" "Puri? Puri, katamu?" seru Julian bersemangat. "Ya - dan puri itu ditinggali seorang wanita," kata George. "Seorang wanita tua yang malang. Tapi ia tidak kaya. Pasti bukan dia yang diincar para penjahat itu!" "Tapi kita tetap perlu melakukan pengusutan ke situ," kata Julian. "Di manakah letak puri itu?" "Di sebelah sana...," kata George sambil menuding. Baru saat itulah ketiga saudaranya melihat bangunan besar dan gelap, yang terletak di atas sebuah bukit yang menjulang di tengah dataran daerah pesisir itu. "Puri itu dulu merupakan pusat sebuah desa," kata George menceritakan. "Tapi kemudian ada gempa bumi yang dahsyat, menimbulkan gelombang pasang. Seluruh rumah di desa hanyut ke laut, disenrt air. Hanya puri itu saja yang masih ada, karena letaknya lebih tinggi. Cuma itu saja yang bisa kuceritakan. Pemiliknya yang sekarang seorang wanita. Ia masih tinggal di situ. Tapi aku tidak tahu, apakah ia seorang diri saja, atau ada yang menemani. Tidak bisa kubayangkan ia memiliki perhiasan yang berharga!" "Tapi walau begitu, setiap tempat yang mungkin di 'Padang Liar' perlu kita datangi. Kita harus mencari ke mana-mana, karena siapa tahu, mungkin di tempat lain masih ada lagi sebuah puri!" Tapi usaha pencarian mereka sia-sia belaka. Kecuali puri yang di atas bukit, mereka tidak menemukan bangunan besar lainnya. "Kurasa sebaiknya kita sekarang kembali ke desa," kata George menyarankan. "Di sana kita minta keterangan pada James. Kalian tentunya masih ingat pada pemuda nelayan itu, kan? Kita pernah ikut dengan perahunya, ke laut. Ia pasti mau membantu kita!" Mereka kembali ke Kirrin. Mereka mampir sebentar di pasar, untuk membeli perbekalan makanan. Setelah itu mereka pergi ke pelabuhan, di mana dengan segera mereka menemukan James. Pemuda itu sedang sibuk mengecat perahunya. "Halo, Lima Sekawan!" sapa nelayan itu, ketika melihat anak-anak datang. "Apa kabar?" Selama beberapa saat mereka mengobrol tentang macam-macam. Kemudian Julian mengalihkan percakapan pada wanita pemilik puri tua yang mereka lihat dari kejauhan tadi. "Kenapa kalian ingin tahu tentang Bu Killarney?" tanya James dengan heran. "Kasihan, tidak banyak yang bisa diceritakan mengenai dirinya. Ia kehilangan segala-galanya... suami, anak-anak, dan juga seluruh hartanya.... Sekarang ia hidup menyendiri, dalam purinya yang sudah mulai rusak di sana-sini. Ia jarang sekali datang ke desa. Paling-paling untuk berbelanja saja, sekali-sekali. Aku tidak tahu dari mana ia mendapat penghasilan. Kalau berbelanja, ia biasanya naik bis pagi. Lalu cepat-cepat berbelanja di pasar. Orang desa semua merasa kasihan padanya. Tapi Bu Killarney tidak suka bergaul. Ia tidak pernah mau membicarakan kesulitannya dengan orang lain. Ia sangat tertutup, persis seperti 'Padang Liar!'" "Wah, gawat," gumam Julian. "Ia pasti tidak mau menerima kedatangan kita nanti, kalau ternyata memang ia wanita yang akan dirampok itu!" Anak-anak berpamitan pada James, lalu bersepeda menyusur sisi atas tebing menuju ke Pondok Kirrin. Sesampai di sana mereka disambut dengan hidangan makan siang yang menimbulkan selera. Joanna sangat memanjakan mereka. Sehabis makan anak-anak kembali naik sepeda, kini untuk memeriksa daerah sebelah utara Kirrin. "Kita takkan mungkin bisa memeriksa semuanya dalam satu hari," kata Julian. "Karena yang terpenting dalam pengusutan ini, jangan sampai ada yang terlewat. Kita harus menyelidiki dengan tenang dan cermat." Daerah sebelah utara desa Kirrin berlainan sekali pemandangannya dengan daerah selatan. Di utara pesisir penuh dengan tebing batu terjal serta dipagari terumbu-terumbu karang. Karenanya jarang sekali tempat itu didatangi turis atau perahu. Oleh karena itu pula di situ hampir tidak ada tempat pedesaan. Padahal alam di situ nampak lebih ramah, dibandingkan dengan 'Padang Liar'. Setelah bersepeda sejauh satu kilometer, anak-anak membentuk dua kelompok. Julian mengajak Anne melakukan pencarian ke arah barat. Sedang George dan Dick pergi ke arah sebaliknya, bersama Timmy. Tapi di situ pun usaha mereka sia-sia belaka. Mereka hanya melihat tempat-tempat pertanian kecil yang dihuni oleh keluarga-keluarga. Ada juga pondok-pondok nelayan. Tapi itu pasti bukan puri yang dicari. Sorenya mereka berkumpul lagi. Mereka sudah capek, tapi hasil sama sekali tidak ada. Julian menyarankan agar pencarian dihentikan untuk hari itu dan mereka kembali ke Pulau Kirrin, Tidak ada yang menolak usul itu. Mereka pun kembali ke pulau. Di sana mereka berenang-renang sampai tiba saat makan malam. Sebelum masuk ke tenda untuk tidur, mereka bersepakat untuk berangkat lagi besok pagi-pagi sekali dan melanjutkan penyelidikan. Keesokan paginya ketika niatahari masih rendah, mereka berempat sudah bersepeda lagi menyusur daerah yang kemarin didatangi. Mereka kembali membentuk dua kelompok, agar pencarian bisa lebih cepat. Ketika menjelang tengah hari mereka bergabung kembali di tempat yang disepakatkan, George nampak sangat bergembira. Matanya bersinar-sinar. Dan seperti biasa, ia ingin buru-buru bercerita. "Menang! Aku dan Dick tadi berhasil menemukan sebuah rumah, yang mungkin akan dirampok para penjahat itu," katanya bersemangat. "Kami juga berhasil!" balas Julian sambil tertawa "Aku dan Anne tadi juga mendapat keterangan tentang seorang wanita yang hidup menyendiri dan mungkin sekali merupakan korban yang dimaksudkan para penjahat!" Kedua kelornpok itu saling memberitakan tentang hasil penelitian masing-masing. George mengatakan bahwa ia bersama Dick melihat villa mewah yang letaknya tersembunyi di pagar semak yang rapat. "Setelah itu aku mencari keterangan pada para petani di dekal-dekat situ," sambung Dick. "Menurut mereka, yang tinggal di situ seorang wanita. Namanya Bu Grant. Ia tinggal seorang diri di situ. Villanya bernama 'Mon Trésor'. Itu bahasa Prancis, dan artinya 'Hartaku'. Kabarnya Bu Grant kaya raya. Jadi bukan mustahil bahwa ia memiliki perhiasan yang berharga." Kini tiba giliran Julian untuk menyampaikan laporan penyelidikannya bersama Anne. "Kami tadi tidak menemukan villa, tapi sebuah gedung yang indah dan besar sekali, letaknya di suatu pertanian. Secara kebetulan aku berjumpa dengan tukang pos, lalu kutanyai macam-macam Kelihatannya ia jarang berbicara dengan orang dalam dinasnya mengantarkan surat. Pokoknya ia gernbira sekali bisa mengobrol sebentar dengan aku. Segala pertanyaanku dijawabnya dengan panjang lebar. Menurut cerita tukang pos itu, pertanian itu milik seorang wanita yang kaya. Namanya Bu Reynold. Ia tinggal seorang diri di situ. Memang ada beberapa orang pekerja menbantunya dalam pekerjaan sehari-hari. Tapi mereka tidak tinggal di situ. Mereka datang pagi-pagi untuk bekerja, tapi malamnya pulang ke rumah masing-masing. Jadi Bu Reynold pun mungkin 'wanita di puri' yang dimaksudkan oleh para penjahat. Rumahnya besar sekali - layak kalau disebut puri!" George mengerutkan keningnya. "Sekarang ada tiga wanita yang mungkin merupakan calon korban para penjahat itu," katanya setengah mengeluh. "Padahal kita baru saja mulai dengan penyelidikan kita. Kalau keadaannya begini terus ...." Anak-anak merebahkan diri ke runput. Karena merasa lapar, mereka membuka bekal makanan yang sengaja dibawa untuk berjaga-jaga. Setelah mengisi perut, mereka berangkat lagi. Tiga hari lamanya keempat anak itu memeriksa setiap sudut daerah situ, sampai ke Tanjung St. Patrick. Tapi mereka tidak menemukan bangunan lagi yang mungkin merupakan sasaran perampokan. Malam hari ketiga mereka berunding lagi di perkemahan mereka, sambil duduk mengelilingi api unggun. "Mula-mula aku merasa kecil hati, karena tidak banyak petunjuk yang kita ketahui tentang rencana perampokan," kata George. "Tapi sekarang aku sudah lebih optimis. Soalnya kita menemukan tiga wanita saja yang kira-kira cocok dengan petunjuk yang disebutkan kedua penjahat itu. Mereka itu Bu Killarney yang tingal di puri tua di tengah 'Padang Liar', lalu Bu Grant dari 'Mon Tresor', serta Bu Reynolds pemilik pertanian." "Betul!" kata Anne sambil mengangguk. "Sekarang kita tinggal menyelidiki siapa di antara ketiga wanita itu yang memiliki perhiasan berharga. Kalau kita sudah tahu, kita datangi dia untuk memperingatkan agar berjaga-jaga. Beres!" "Kurasa Bu Killarney bisa kita lupakan," kata Dick. "Ia kan sangat miskin. Mana mungkin ia memiliki perhiasan yang berharga!" "Jangan terlalu cepat menarik kesimpulan," kata Julian. "Kita kan sama sekali tidak mempunyai bukti bahwa Bu Killarney tidak punya apa-apa. Banyak orang tidak suka memamerkan kekayaan mereka, karena takut dirampok atau dirongrong peminta sumbangan!" "Baiklah," kata George. "Kalau begitu kita mulai dengan mendatangi Bu Killarney." Bab 6 BU KILLARNEY Keesokan paginya anak-anak itu melanjutkan kegiatan mereka. Tujuan mereka yang pertama adalah puri tua di 'Padang Liar'. Mereka ingin bertemu dengan wanita pemiliknya. Ketika mereka lewat di desa Kirrin, tiba-tiba Anne melihat seorang penjual bunga dengan bunga yang indah-indah. "Yuk, kita mampir sebentar," katanya pada saudara-saudaranya. "Aku ingin membeli seberkas bunga mawar, untuk Bibi Fanny. Bibi kan selalu baik hati pada kita. Nanti dalam perjalanan pulang kita mampir di Pondok Kirrin, untuk menyerahkan bunga mawar itu padanya." George, Dick dan Julian berdiri di tepi jalan sambil memegang sepeda masing-masing. Mereka menunggu Anne, yang berjalan menuju tempat penjualan bunga. Di depan Anne berjalan seorang wanita yang sudah tua. Gerak-geriknya sudah tidak tangkas lagi. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki naik sepeda motor. Jalan kendaraan itu laju sekali, arahnya lurus menuju wanita tua yang sedang menyeberang. Wanita tua itu berdiri di tengah jalan. Seolah-olah terpaku ia di situ. Anne langsung sadar bahwa wanita tua itu karena takutnya tidak tahu lagi apakah ia harus maju atau mundur. Dengan sigap Anne menyentakkan lengan wanita itu ke belakang. Tepat pada waktunya, karena kalau terlambat sedetik saja, wanita tua itu pasti sudah tergilas roda sepeda motor. Wanita itu mengucapkan terima kasih dengan suara gemetar, lalu menghilang di tengah orang banyak. Anne membeli bunga mawar, lalu bergegas kembali ke tempat saudara-saudaranya menunggu. Kini mereka bisa melanjutkan perjalanan, mendatangi Bu Killarney. Mereka bersepeda di jalan pedesaan, sementara Timmy berlari-lari dengan gembira di samping rnereka. Tiba-tiba nampak debu mengepul di kejauhan. Sebuah bis yang penuh sesak muncul,dan dengan cepat sudah melewati mereka. "Aku benci pada kendaraan yang besar-besar seperti itu!" kata George marah-marah. "Bahkan sapi pun takut pada mereka!" Julian tertawa melihat saudara sepupunya marah-marah. "Tapi bagi orang-orang yang tidak merniliki mobil atau sepeda, bis sangat menolong kalau mereka ingin bepergian," katanya. "Ayo, kita terus! Sebentar lagi sudah sampai." Seperempat jam kemudian mereka sudah sampai di depan puri tua yang terletak di 'Padang Liar'. Mereka menghampiri pintu gerbangnya yang besar, lalu menarik tali lonceng yang tergantung di situ. Sayup-sayup terdengar gema bunyi lonceng. "Tidak ada orang," bisik Anne, setelah agak lama mereka menunggu tanpa ada yang membukakan pintu. Tapi saat itu juga sebuah tingkap kecil yang ada pada daun pintu terbuka. "Kalian mau apa?" tanya seseorang dengan suara agak bergetar. "Kami ingin bertemu sebentar dengan Bu Killarney," kata Julian dengan sopan. "Ada urusan penting!" "Aku tidak menerima tamu!" kata orang yang membuka tingkap. "Ijinkanlah kami masuk!" kata George tidak sabaran. "Ini penting sekali, menyangkut keselamatan diri Anda." "Aku tidak kenal kalian. Ayo pergi!" Setelah itu tingkap ditutup kembali. Keempat anak itu saling berpandang-pandangan dengan perasaan kecewa. "Hebat!' kata Dick menggerutu. "Begitulah hasilnya, jika hendak menolong orang." Ia tidak melanjutkan kata-katanya. karena saat itu tingkap terbuka kembali. "Tapi anak perempuan yang di belakang itu...rasa-rasanya aku seperti pernah melihat dia," kata wanita yang berdiri di balik pintu. "Ah ya - betul juga kau yang tadi menyelamatkan diriku! Coba kau maju sedikit, Nak... ya, ya, memang kau yang tadi menolongku di desa. Aduh, aku tadi begitu kaget, sampai tidak sempat mengucapkan terima kasih dengan sepantasnya. Masuklah, Anak-anak!" Anak-anak melongo. Mereka kaget menghadapi perubahan sikap yang datang dengan tiba-tiba itu. Sementara itu pintu dibuka dari dalam. Bu Killarney muncul dari balik daun pintu. Ternyata ia memang wanita tua yang tadi nyaris ditubruk sepeda motor di desa, kalau tidak cepat-cepat ditarik ke belakang oleh Anne. Anak-anak diajak masuk ke ruang tamu yang lapang. Ruangan itu dulu pasti indah sekali. Tapi sekarang sudah terbengkalai keadaannya. Julian menjelaskan maksud kedatangannya bersama ketiga saudaranya. Bu Killarney sedikit pun tidak meragukan kata-katanya, karena Julian mengatakan bahwa ia keponakan Profesor Quentin Kirrin. Hal itu menambah bobot keterangannya. Soalnya, Protesor Kirrin terkenal di daerah situ. Dan begitu pula halnya dengan putrinya. "Ya, ya - bisa kubayangkan bahwa aku menjacli incaran perampok. Soalnva, aku memang memiliki harta warisan keluarga. Dan kalian ini datang karena merasa bahwa ada perampok yang mau mencuri hartaku itu? Sebelulnya memang terlalu besar risikonya menyimpan harta itu di sini!" "Jangan buru-buru gugup, Bu Killarney," kata Julian. Ia berusaha menenangkan wanita tua yang nampak mulai bingung lagi itu. "Menurut rencananya, perampokan itu baru akan dilakukan akhir bulan ini. Jadi Anda masih cukup banyak waktu untuk melaporkannya pada polisi. Kecuali itu Anda juga dapat menaruh harta itu ke tempat lain yang aman!" "Ya, ya, kau memang benar, Nak" kata wanita tua itu. "Aku kadang-kadang suka bingung, tidak tahu apa yang perlu dikerjakan. Aku seorang diri saja di sini, di tengah kenangan lama. Tapi nasihatmu tadi akan kuturuti. Mungkin kalian ingin melihat hartaku itu, ya?" Julian dan saudara-saudaranya senang sekali, karena begitu cepat berhasil menemukan wanita yang diduga akan menjadi korban perampokan yang sedang direncanakan. Mereka merasa terharu menghadapi sikap percaya wanita tua itu pada mereka sehingga ia mau bercerita tentang hartanya. Oleh karena itu mereka pun menerima ajakan itu. Anne sudah senang saja, karena ia sangat menyukai perhiasan antik. Dibayangkannya betapa indahnya permata jamrud itu. Bu Killarney mengajak mereka melalui bangsal yang besar-besar serta lorong-lorong panjang. Akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang kosong sama sekali. Di situ tidak ada perabotan. Tidak ada lukisan tergantung di dinding. Keempat anak itu berpandang-pandangan dengan heran. Mana harta yang dimaksudkan tadi? Wanita tua itu tersenyum, ketika melihat keempat remaja itu bingung. "Kulihat kalian bingung," katanya. "Tapi hartaku itu memang tidak begitu mudah ditemukan oleh orang yang tidak berhak!" Sambil berkata begitu ia menekan suatu ukiran kembang yang kecil sekali, yang terdapat pada dinding pendiangan yang terbuat dan batu marmer. Seketika itu juga batu marmer itu berputar ke samping. Ternyata di belakangnya ada sebuah lorong. Lorong itu menuju ke sebuah ruangan lain yang sempit. Batu marmer itu ternyata merupakan pintu rahasia! "Sekarang kalian boleh mengagumi hartaku!" kata Bu Killarney. Semua masuk ke kamar sempit itu. Diterangi sinar lampu minyak yang dinyalakan Bu Killarney, anak-anak melihat lukisan seorang satria kuno yang berdiri dengan gagah. Mereka memandangnya dengan heran. "Ini moyangku!" kata Bu Killarney ,menjelaskan. "Bangsawan penguasa daerah Killarney dan Kirk! Inilah satu-satunya hartaku yang tak ternilai harganya!" Anak-anak masih tetap memandang lukisan kuno itu sambil melongo. Setelah beberapa saat barulah mereka menyadari kekeliruan yang terjadi. Karena tadi tergesa-gesa hendak menjelaskan alasan kedatangan mereka ke situ, Julian hanya berbicara tentang 'harta keluarga'. Tapi ia lupa mengatakan bahwa harta itu berupa perhiasan. Dan itu yang menyebabkan Bu Killarney salah sangka. Dick menggigit bibirnya, supaya jangan tertawa. Anne menatapkan pandangannya pada lukisan satria itu, sementara muka George menjadi merah karena merasa kikuk. Akhirnya Julian yang mengakhiri situasi tidak enak itu. Ia menjelaskan bahwa para perampok bukan mengincar lukisan moyang Bu Killarney, melainkan warisan berupa perhiasan jamrud. Bu Killarney nampak lega mendengar penjelasan itu. Ia meminta pada anak-anak agar jangan segan-segan mampir, karena kunjungan mereka dirasakannya merupakan selingan yang menyenangkan. Bu Killarney mengantar mereka sampai ke pintu gerbang. Kini mereka kembali berada di tengah 'Padang Liar'. "Nah," kata Dick. "Usaha kita tadi meleset!" "Ah, sebenarnya tidak," jawab Julian. "Karena sekarang kita sudah tahu dengan pasti, bukan Bu Killarney korban yang sedang diincar para penjahat." Bab 7 "MON TRESOR" Siangnya anak-anak melanjutkan usaha pengusutan rnereka. Mereka memutuskan untuk mendatangi Bu Grant, di 'Mon Trésor'. Sesampai di depan villa itu mereka melompat turun dan sepeda lalu mernbunyikan bel yang terpasang di pintu gerbang pagar. Seketika itu juga pintu depan rumah terbuka. Seorang wanita bertubuh tinggi dan sigap muncul di ambangnya. Dengan langkah lambat ia menghampiri pintu gerbang. "Mau apa?" tanyanya dengan ketus pada anak-anak. "Selamat siang," kata Julian dengan sopan. "Kami ingin bicara sebentar dengan Bu Grant." "Aku Bu Grant." "Ada hal penting yang ingin kami sampaikan pada Anda. Rolehkah kami masuk sebentar?" Kening wanita itu berkerut. Nampak jelas bahwa ia merasa curiga. "Aku tak pernah mengijinkan siapa pun yang tak kukenal masuk ke rumahku," katanya dengan nada dingin. "Anak-anak juga tidak!" Julian cepat-cepat memperkenalkan diri. "Sikap Anda itu benar," katanya. "Anda memang perlu berhati-hati. Anda tinggal seorang diri di sini, dan ...." "Dan mana kau tahu bahwa aku tinggal seorang diri di sini?" potong Bu Grant dengan kasar. "Sebelumnya kami sudah mencari keterangan," jawab Dick menjelaskan. "Itu sangat mencurigakan, Anak muda! Kalian mengumpulkan keterangan mengenai diriku, sehingga kalian sekarang tahu bahwa aku seorang diri di sini. Lalu kini kalian menginginkan agar aku memasukkan kalian ke dalam rumah. Barangkali juga anjing itu, yang kelihatannya galak dan penggigit!" "Timmy baik hati!" bantah George. Ia merasa tersinggung. "Tapi kalau perlu, Anda pun akan dibelanya mati-matian!" "Atau menyerang diriku, jika kau memerintahkannya!" tuduh wanita yang kasar itu. "Kenapa Anda berprasangka begitu" tanya Anne dengan bingung. Ia tidak mengerti, kenapa wanita itu bersikap begitu tidak ramah terhadap mereka. "Kami kemarii ini untuk memperingatkan Anda bahwa ..." Bu Grant tidak memberi kesempatan pada Anne untuk menyelesaikan kalimatnya. "Dan mana aku bisa tahu bahwa bukan kalian sendiri yang penjahat?" tukasnya dengan sengit. "Sekarang pergi dari sini! Gelandangan! Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan omong kosong kalian! Julian sudah habis kesabarannya. "Kami bukan penjahat, dan kami datang ini bukan untuk menjual omong kosong! Bahkan sebaliknya, kami serius sekali! Jika kami tidak boleh masuk, apa boleh buat - di sini saja kami katakan. Harap Anda mau mendengarkan keterangan kami..." "Aku tidak punya waktu untuk mendengar ocehan kalian! Cepat, sekarang pergi dan sini!" Sia-sia saja anak-anak berusaha mengatakan sesuatu, karena Bu Grant semakin marah. "Kalau kalian tidak meninggalkan tempat ini saat ini juga, akan kusuruh seekor anjing yang besarnya dua kali anjing kalian itu untuk menyerang kalian!" katanya mengancam. "Keponakanku kebetulan sedang ada di sini, dengan anjingnya, Hektor!" Saat itu seorang pemuda muncul di ambang pintu depan. Ia memegang tali yang diikatkan ke leher seekor anjing gembala yang besar sekali. "Ada apa, Bibi?" tanya pemuda itu. "Ah,tidak ada apa-apa," jawab Bu Grant "Cuma ini, ada berapa anak gelandangan yang ingin mencoba masuk ke rumah. Aku curiga, jangan-jangan mereka disuruh segerombolan penjahat mengintai keadaan di sini!" Julian dan ketiga saudaranya langsung memprotes. Mendengar suara mereka yang berisik, anjing gembala yang galak itu menggeram-geram. Anjing itu memamerkan taringnya yang runcing-runcing. Timmy sama sekali tidak gentar menghadapi gertakan itu. Ia membalas dengan gonggongan marah. Sementara itu Hektor beserta tuannya sudah datang menghampiri Bu Grant. "Buka pintu sedikit saja. Bibi!" kata pemuda itu pada Bu Grant "Kalau Hektor sudah memperlihatkan taringnya, pasti anak-anak itu lari tunggang-langgang nanti!" Bu Grant nampak agak ragu. Tapi keponakannya bertindak mendului. Dibukanya pintu gerbang sedikit. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Hektor akan meronta melepaskan diri dari pegangan lalu memburu ke luar. Dengan galak anjing gembala itu maju menerjang rintangan yang paling dekat - George! Timmy ternyata sedikit pun tidak takut. Sambil menyeringai memperlihatkan taring, anjing setia itu berdiri di depan tuannya. Ia langsung menggigit lawannya yang lebih besar. Seketika itu juga terjadi perkelahian sengit. Anak-anak berteriak-teniak ketakutan, sementara itu Bu Grant dan keponakannya berusaha memisahkan kedua anjing itu. Hanya George saja yang tidak merasa takut. Ia malah berseru-seru, membakar semangat anjingnya. "Sikat, Tim!" serunya. "Tunjukkan pada anjing kurap itu, siapa yang lebih kuat!" Akhirnya keponakan Bu Grant berhasil memegang kalung leher anjingnya. George menarik Timmy yang telah melindunginya dengan gagah berani, lalu merangkulnya. "Nah! Mengerti kalian sekarang?" seru Bu Grant dengan marah. "Sekarang cepat pergi dari sini, kalau masih ingin selamat!" Julian tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia memberi isyarat pada saudara-saudaranya untuk pergi dan situ. Beberapa ratus meter dari gerbang pagar 'Mon Tresor' mereka turun lagi dari sepeda lalu duduk di rumput. Mereka hendak benunding sebentar. George memeriksa tubuh Timmy. Ia merasa lega, karena Timmy sama sekali tidak cedera. Anjing itu sigap sekali, sehingga lawannya sama sekali tidak sempat menggigit. Dick marah sekali. "Aku belum pernah melihat orang yang begitu keras kepala dan curiga seperti Bu Grant itu!" katanya mengomel. "Dan orang seperti dia itu yang hendak kita bantu?" "Kalau ia tidak mau mendengar keterangan kita, kita terpaksa menulis surat padanya," kata Julian dengan serius. "Kita harus memperingatkan dirinya terhadap bahaya yang mengancam!" "Ah, untuk apa?" seru Dick. Ia masih mendendam, karena diperlakukan sedemikian kasar tadi. "Biar saja para penjahat itu merampoknya habis-habisan. Biar ia tahu rasa!" Anne sependapat dengan Julian, bahwa sebaiknya mereka menulis surat pada Bu Grant. Tapi sementara itu George mendapat pikiran lain. "Kita tidak boleh bertindak secara untung-untungan," katanya. "Bagaimana jika Bu Grant tidak menjawab surat itu? Bagaimana kita bisa tahu, apakah ia menerimanya atau tidak.? Tidak! Kita harus berhubungan langsung dengannya, supaya bisa tahu pasti." George berhenti sebentar. "Biar aku mencoba sekali lagi," katanya kemudian. "Menurut Bu Grant tadi, keponakan beserta anjing konyolnya itu hanya bertemu saja di situ. Jadi besar kemungkinannya ia tidak menginap. Nanti malam aku akan datang lagi ke situ. Siapa tahu, mungkin saja nasibku lebih mujur!" Julian berusaha melarang George melaksanakan niatnya itu. "Jangan suka iseng!" katanya. "Atau menurut sangkamu ia akan memperlakukan dirimu dengan lebih ramah jika kau datang sendiri?" "Itu masih harus kita lihat! Pokoknya, kan tidak ada salahnya jika kucoba!" "Omong kosong! Aku melarangmu, George! Kau kan tahu sendiri, aku yang paling tua di antara kita berempat. Bibi Fanny sudah mewanti-wanti agar aku mau mengawasi kalian. Bagaimana jika nanti ternyata bahwa Hektor masih ada di sana dan kau diserang olehnya? Tidak, aku tidak bisa mengijinkanmu pergi mencobanya sekali lagi!" "Ya deh, kau tidak perlu marah karenanya. Kalau begitu, kita tulis saja surat padanya!" Dengan begitu usul Julian diterima. Anak-anak kembali ke Pulau Kirrin. Mereka menyalakan api unggun lalu mengobrol sambil duduk-duduk mengelilinginya sampai saat tidur. Besok pagi mereka akan mendatangi Bu Reynold.... Malam itu George masuk ke kantung tidurnya, lalu pura-pura mendengkur. Padahal ia masih bangun. Dengan perasaan tidak sabar ia menunggu sampai Anne akhirnya terlelap. Dari tenda tempat Julian dan Dick sudah terdengar suara dengkuran bersahut-sahutan. Saat itu George keluar lagi dari kantong tidurnya, Timmy datang menghampiri sambil mengibas-ngibaskan ekor. "Ssst! Jangan menggonggong!" bisik George. "Kita akan jalan-jalan!" Tanpa berbunyi sedikit pun, Timmy mengikuti tuannya. Diterangi sinar bulan purnama keduanya berjalan menyusur jalan setapak yang menuju ke teruk kecil tempat perahu "Topan" di tambatkan. George langsung melompat ke dalam perahunya. Ternyata anak bandel itu tadi hanya pura-pura saja mau mengalah. Ia hanya berpura-pura mau mendengar nasihat Julian. Padahal seperti biasanya, ia tidak gampang mundur apabila telah menghendaki sesuatu. Kini pun demikian halnya! "Ayo naik, Timmy! Kita berangkat!" Timmy meloncat, masuk ke dalam perahu. George meraih dayung. Perahu meluncur di atas air, menuju darat. Cuaca malam itu tenang. Permukaan laut licin sekali, selicin kaca. Timmy kelihatannya senang diajak berjalan-jalan malam hari. Sesampai di seberang, George mengikatkan perahunya pada pangkalan kecil yang terdapat di depan rumah perahu keluarga Kirrin. Ia mengambil sepedanya dari dalam rumah perahu itu, lalu mengendarainya ke arah utara. Timmy berlari-lari dengan gembira mengikuti George. Saat itu terdengar bunyi lonceng gereja di desa Kirrin berdenting sebelas kali.... "Bagus! Selarut ini keponakan Bu Grant pasti sudah pulang...sedang Ru Grant sendiri mungkin belum tidur! Apakah ia mau mengijinkan aku masuk, jika nanti melihat aku datang sendiri? Kita lihat saja nanti ...Timmy, kau menunggu di sini!" Untuk kedua kalinya hari itu George sudah berdiri lagi di depan gerbang pagar villa "Mon Trésor". "Kau jangan ikut, Timny!" kata George sekali agi pada anjingnya. Ia ragu sesaat, karena dari arah villa sama sekali tidak kelihatan ada lampu menyala. Ia menekan bel di pintu gerbang. Tapi tak terdengar bunyinya di dalam villa. Mungkin Bu Grant sengaja mematikannya, karena tidak ingin diganggu. George memutar otak. Ia berpikir-pikir, apa yang sebaiknya dilakukan olehnya sekarang. Untuk kembali lagi - sayang perjalanan sejauh itu .... Tiba-tiba ia mendapat akal. Kupanjat saja gerbang ini, pikirnya. Nanti kalau sudah ada di dalam pekarangan, akan kugedor pintu depan rumah keras-keras, supaya Bu Grant tidak bisa menuduh bahwa aku menyelinap masuk ke pekarangan villanya dengan sembunyi-sembunyi. George langsung nnelaksanakan niatnya itu. Mula-mula diperiksanya dulu apakah gerbang itu benar-benar terkunci. Ternyata memang begitu. Kemudian dengan cekatan dipanjatnya gerbang itu, lalu ia menjatuhkan diri ke tanah di baliknya. Tapi saat itu juga terjadi sesuatu yang sama sekali tak disangka olehnya! Ketika menginjak rumput di balik pagar, kakinya tersangkut pada kawat yang terbentang rendah dekat tanah. Kawat itu rupanya disambungkan dengan instalasi alarm, karena saat itu juga terdengar deringan nyaring dalam rumah. George terkena jebakan pencuri! Kagetnya bukan main karena peristiwa yang tak disangka-sangka itu. Ia bangun lagi sambil mengumpat-umpat pelan. Tapi sebelum ia sempat melangkah, pintu rumah terbuka. Cahaya menyilaukan menerangi kebun. Di ambang pintu nampak Bu Grant. Dari sikapnya ketahuan bahwa wanita itu bukan orang yang penakut. "Siapa di situ?" seru Bu Grant dengan galak. Sambil berjalan terpincang-pincang. George datang menghampirinya. "Saya. Bu Grant. Satu dari keempat anak yang tadi siang ingin bicara dengan Anda," jawab George dengan tenang. "Saya membawa berita penting untuk Anda. Saya sudah menekan bel, tapi rupanya tak berbunyi. Oleh karena itu saya lantas ..." "Omong kosong! Semua alasan saja!" potong wanita itu dengan kasar. "Sudah kusangka bahwa kalian bermaksud jahat!" "Anda salah sangka, Bu!" bantah George dengan gugup. "Sungguh - saya kemari ini hanya karena ingin memperingatkan Anda saja! Orang tua saya tinggal di Pondok Kirrin! Ayah saya Quentin Kirrin, sarjana itu. Saya bukan anak gelandangan!" "Setiap orang bisa mengaku begitu! Bagaimana mungkin orang tuamu mengijinkanmu keluyuran sendiri malam-malam?" "Itu bisa saya jelaskan, Bu! Tapi harap Anda mau mendengarkan keterangan saya!" kata George. "Aku tidak kepingin mendengar ocehanmu lagi!" tukas Bu Grant dengan ketus. Tanpa mempedulikan George yang meronta-ronta, dipegangnya lengan anak itu lalu digoncang-goncangnya. "Ayo pergi!" bentak Bu Grant. "Kau datang ini kan untuk mengintai apakah keadaan sudah aman, sehingga kawan-kawanmu bisa beraksi dengan tenang. Tapi seperti kaulihat sendiri, kemungkinan seperti ini sudah kuduga dari semula. Rumahku tidak gampang dirampok, mengerti?!" "Sungguh. percayalah, Ru - kami sama sekali tidak berniat jahat!" seru George. Ia sekarang benar-benar merasa takut. "Kami hanya ingin memperingatkan Anda bahwa ada gerombolan penjahat yang saat ini berniat hendak merampok perhiasan Anda!" "Perhiasan apa? Macam-macam saja alasan yang kaukemukakan, supaya aku mau membebaskanmu!" "Itu tidak benar!" seru George kebingungan. "Saya tidak pernah bohong!" "Orang lain mungkin ada yang mau mempercayai ocehanmu itu - tapi bagiku sudah jelas bahwa kau nemasuki pekarangan orang tanpa ijin! Itu suatu tindakan pelanggaran. Malam-malam begini, aku tidak mau memanggil polisi. Untuk itu masih ada waktu besok. Untuk sementara kau akan kukurung" George masih terus berusaha meyakinkan Bu Grant bahwa ia benar-benar tidak bermaksud jahat. Tapi sia-sia belaka. Bu Grant tidak mau mendengarkan keterangannya. Ia mencengkeram lengan George dan menariknya menuju garasi. "Aku sebetulnya kepingin mengurungmu dalam ruangan bawah tanah," tukas Bu Grant. "Tapi di situ kau nanti berteriak-teriak, sehingga aku tidak bisa tidur. Kalau di garasi kau boleh menjerit-jerit semaumu, aku takkan mendengarnya. Dan kalaupun aku mendengar...." Rasa takut yang semula menghinggapi diri George berganti kemarahan. "Anda tidak berhak berbuat begitu padaku!" teriaknya dengan panas. "Aku kan tidak berbuat apa-apa terhadap Anda!" "Ya - tapi karena aku lebih dulu bertindak!" tukas Bu Grant. "Ayo jalan! Jangan coba-coba rnengelabui diriku, Anak jahat!" "Anda pasti menyesal nanti, memperlakukan diriku dengan kasar! Tapi saat itu pasti sudah terlambat!'seru George. Dengan perasaan marah ia meronta ronta, berusaha membebaskan diri dari cengkeraman, Bu Grant. tapi hal itu rupanya sudah diduga oleh wan ita itu. Tangannya semakin kuat mencengkeram lengan George. Walau anak itu melawan dengan sengit, tapi ia diseret-seret menuju garasi di samping villa. Bu Grant mendorong George masuk ke dalam, lalu mengunci pintu dan luar. "Sekarang kau boleh berpikir-pikir, cerita bohong apa lagi yang akan kauocehkan pada polisi besok pagi. Waktumu cukup banyak!" seru Bu Grant dengan nada mengejek, lalu pergi. George menggigit-gigit bibir, supaya jangan menangis. Bukan menangis sedih, tapi karena marah. "Keadaanku benar-benar gawat sekarang!" gumamnya pada diri sendiri. Tapi ia tidak mau menyerah. Diperiksanya ruang garasi yang gelap itu. Tapi ia sama sekali tidak menemukan jalan keluar. Yang ditemukannya hanya lubang udara yang kecil sekali. Tidak mungkin ia bisa menyusup ke luar lewat situ. Jadi yang tinggal hanya pintu saja. Sedang pintu garasi terkunci dari luar. Bu Grant mengurungnya, seolah-olah ia seorang penjahat! Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 8 TIMMY BERAKSI Sementara George mondar-mandir dengan bingung dalam garasi sambil memikirkan kegawatan keadaannya saat itu. Timmy masih selalu menunggu tuannya kembali di balik sebuah semak. Timmy itu pintar, dan sangat setia pada tuannya. Ia langsung bisa merasakan apabila tuannya sedang susah. Dalam keadaan begitu, ia pasti akan berusaha menghibur George. Dan kalau George sudah bergembira lagi, Timmy melonjak-lonjak karena senang. Ia juga dapat merasakan apabila George terancam bahaya. Timmy menganggap tugasnya untuk melindungi keempat anak yang disayanginya itu. Kalau perlu, ia bersedia membela mereka dengan segala tenaga yang dimiliki. Pada umumnya Timmy patuh pada George. Dan karena George tadi menyuruhnya menunggu di situ, selama itu ia tetap menunggu dengan sabar di tempat persembunyiannya. Ia mendengar ketika tuannya tadi memanjat gerbang. Ia juga mendengar George tersandung pada kawat, yang menyebabkan alarm dalam rumah berdering-dering. Timmy mulai gelisah ketika kemudian terdengar suara Bu Grant yang kasar, disusul oleh pertengkaran antara wanita itu dengan George. Ketika akhirnya George diseret-seret, Timmy tahu dengan pasti bahwa tuannya itu ada dalam bahaya. Hati kecilnya mengatakan bahwa ia kini tidak perlu lagi menaati perintah George yang tadi, dan bahwa ia harus datang dengan segera untuk menolongnya. Timmy berusaha meloncat kedalam,melewati pintu gerbang. Tapi sia-sia - gerbang itu terlalu tinggi. Timmy sama sekali tidak menggonggong, karena tahu bahwa itu hanya membuang-buang waktu berharga saja. Ia berusaha menyusup masuk, lewat sela kisi-kisi gerbang. Tapi kisi-kisi itu terlalu rapat. Kemudian sekali lagi ia meloncat lewat atas. Percuma! Timmy hanya dapat melihat tanpa berbuat apa-apa, sementara Bu Grant rnenyeret-nyeret George ke garasi lalu mengurungnya di situ. Timmy melolong, karena marah dan sedih! Tidak ada yang mendengar lolongannya. Berulang kali ia mencoba masuk dengan jalan meloncati gerbang. Kemudian ia melihat Bu Grant masuk ke rumah. Wanita itu sendirian saja. Kalau begitu George pasti masih ada dalam garasi, pikir Timmy. Tuannya terkurung di situ! Kini Timmy menggonggong tiga kali. Pendek-pendek! George mengenali gonggongan Timmy. Jantungnya berdebar keras. "Timmy!" serunya dengan lantang! "Timmy! Tolong aku!" George tahu bahwa Timmy takkan bisa menolongnya. Tapi mengetahui anjingnya itu ada di dekatnya, menyebabkan semangatnya bangkit kembali. "Aku harus berhasil keluar dari sini!" kata George pada dirinya sendiri. "Kalau besok polisi datang karena dipanggil Bu Grant, bisa konyol keadaanku! Pasti akan terjadi keributan. Dan jika Ayah sampai mendengarnya, jelas ia akan marah-marah. Tapi bukan itu saja - kejadian ini pasti akan tersiar ke mana-mana. Para penjahat tentu akan mendengarnya pula. Mereka akan waspada, lalu minggat dan mencari korban baru di tempat lain!" Sementara itu Timmy sudah putus asa. Disadarinya bahwa rintangan gerbang takkan mungkin bisa di lewati olehnya. Ia terpaksa mencari bantuan. George terkurung di dalam, sedang ia sendiri tidak bisa membantu membebaskannya! Hal itu perlu diketahui anak-anak yang lain, pikir Timmy. Sekali lagi ia menoleh ke arah garasi. Setelah itu ia lari, meninggalkan tempat itu. Ia lari menuju pangkalan di tepi teluk, di mana perahu George tertambat. Ia berdiri sejenak di situ. Apakah yang harus dilakukannya? Pondok Kirrin ada di dekat situ. Jika ia menggonggong, ayah dan ibu George pasti akan terbangun.... Tidak! Ia harus memberi tahu Julian, Dick dan Anne. Timmy memandang ke tengah laut. Beberapa ratus meter di depannya nampak Pulau Kirrin, diterangi sinar bulan. Tanpa ragu sedetik pun Timmy langsung melompat ke dalam air. Keprihatinannya mengingat keadaan George membesarkan semangatnya. Timmy berenang dengan tabah melawan arus... Beberapa waktu kemudian Timmy sampai di teluk kecil yang terletak di pulau tujuannya. Tanpa sempat mengibaskan air yang membasahi bulunya, anjing itu langsung melesat lari melewati jalan setapak yang terjal. Ia menuju ke tempat perkemahan anak-anak dan langsung masuk ke dalam tenda Julian dan Dick. Di situ Ia menggonggong dengan ribut. Dick dan Julian kaget, Palu cepat-cepat bangun. Dick menggosok-gosok matanya. "Timmy! Kenapa kau berisik, menggonggong-gonggong di sini? Ayo diam!" "Timmy takkan mau menggonggong di tengah malam, kalau tidak ada alasan penting!" kata Julian, "Kan sudah dilarang oleh George. Pasti ada sesuatu yang terjadi!" Julian bergegas keluar dari tenda. Tapi keadaan kelihatannya tenang-tenang saja di luar. Tenda tempat George dan Anne sunyi sepi. "George! Anne! Kalian tidak apa-apa?" seru Julian ke arah tenda itu. Sementara itu Timmy sudah lari ke situ, sambil menggonggong-gonggong terus. Sesaat kemudian terdengar suara Anne yang marah-marah. "George! Suruh Tirnmy diam - aku tidak bisa tidur karena gonggongannya!" "Ayo diam, Timmy!" kata Dick. "Ada apa sih? He, George, katakan pada jagomu ini, sekarang masih malam! Matahari belum terbit. Ia berkokok terlalu pagi!" Tapi yang muncul dari tenda yang satu lagi bukan George melainkan Anne. Anak itu nampak cemas. "Ju! Dick! George tidak ada dalam tenda!" serunya. "Ketika aku tidur tadi ia masih ada di sampingku. Tapi sekarang kantong tidurnya kosong! Kenapa Timmy masih menggonggong terus? Aku takut, Ju! Pasti terjadi apa-apa dengan George!" "Jangan konyol !" tukas Dick. "Rupanya George tadi terbangun, lalu pergi berjalan-jalan. Dan karena itu Timmy lantas beranggapan bahwa kita pun tidak perlu tidur lagi!" Julian tidak sependapat dengan adiknya itu. "Timmy tidak tolol seperti kau," katanya. "Jika George pergi berjalan-jalan, Timmy pasti ikut!" "Betul!" kata Anne. "George selalu mengajak Timmy! Aduh, Julian - ke manakah George? Aku merasa cemas." "Sebaiknya kita cari saja," usul Dick. Ke manakah George? Julian serta kedua adiknya memanggil-manggilnya. Timmy rupanya tidak menyetujui cara pencarian seperti itu. Ia menarik-narik celana Julian, lalu lari mendului di jalan yang menuju teluk kecil. Karena sudah beberapa saat memanggil-manggil tanpa memperoleh jawaban, akhirnya ketiga anak itu memutuskan untuk menyusul Timmy. Sesampai di sana mereka kaget sekali, karenal perahu George tidak ada lagi di pantai. Rupanya George pergi dan pulau. Tapi apa sebabnya Timmy tidak diajak? Saat itu barulah Dick melihat bahwa bulu tubuh anjing itu basah kuyup. "Timmy tadi ikut dengannya, tapi kembali sendiri kemari dengan jalan berenang," katanya. Ketiga bersaudara itu saling berpandangan dengan perasaan kecut. Pasti ada sesuatu yang terjadi dengan George di darat, pikir mereka. Dan Timmy yang tabah itu berenang kembali ke pulau untuk mencari pertolongan. "Kurasa aku tahu apa yang terjadi!" kata Julian, setelah berpikir sesaat. "George datang lagi ke villa Bu Grant! Dan rupanya rencananya ada yang meleset, sehingga George kini berada dalam kesulitan. Kita harus menyelamatkannya!" "Ya, betull" kata Dick. Ia menambahkan dengan sangsi, "Tapi bagaimana caranya? Di sini tidak ada perahu lain." Anne mulai menangis karena bingung. Sedang Julian langsung memotong perkataan Dick. "Aku sanggup melakukan apa yang bisa diperbuat oleh Timmy," kata Julian. "Aku akan berenang ke darat, lalu kembali kemari dengan perahu. Setelah itu kita berdua naik perahu ke pangkalan, lalu pergi dengan sepeda mendatangi Bu Grant "Aku juga ikut," kata Anne yang masih menangis. "Aku pasti ada gunanya nanti di sana. Dan Timmy juga!" Timmy menggonggong, tanda bahwa ia pun ingin ikut. "Baiklah," kata Julian sambil mengangguk. "Sekarang aku berenang dulu ke darat untuk mengambil perahu." "Hati-hati," kata Anne dengan cemas. "Jelas dong! Sementara aku berenang ke seberang, kalian cepat-cepat berpakaian lalu kembali lagi ke sini. Tolong bawakan pakaianku pula. Dan jangan lupa senter!" Timmy berdiri di tepi air sambil mengibas-ngibaskan ekor. Dengan penuh minat diperhatikannya Julian yang dengan lambat-lambat masuk ke dalam air yang dingin. Timmy merasa bahwa anak itu pasti hendak menolong George. Air laut ternyata tidak sedingin sangkaan Julian. Ia berenang terus ke seberang, sambil berpikir-pikir. Perlukah ia memberi tahu Bibi Fanny dan Paman Quentin? Jelas saat itu lebih baik tidak, pikirnya kemudian. Paman Quentin keras sekali wataknya. Kalau mendengar laporan tentang kejadian itu, Ia tentu akan marah-marah lagi. Mungkin soal itu bisa dibereskan sendiri oleh mereka, pikir Julian selanjutnya, sehingga Paman tidak perlu mengetahuinya. Ia berenang semakin dekat ke pantai seberang. Dan kejauhan ia sudah bisa melihat perahu "Topan" yang ditambatkan pada pangkalan rumah perahu keluarga Kirrin. Julian mempercepat gerak renangnya. Begitu sampai di tepi, ia langsung lari menuju rumah perahu dan menjengukkan kepala ke dalam. Ternyata sepeda George tidak ada. Julian lari ke perahu, meloncat ke dalam lalu mulai mendayung sekuat tenaga. Dengan segera ia sudah sampai di Pulau Kirrin. Dick, Anne dan juga Timmy cepat-cepat masuk ke perahu. Sesaat kemudian perahu itu sudah meluncur lagi mengiris air, menuju tepi teluk. Ketiga anak itu bergegas mengambil sepeda meneka yang disimpan clalam rumah perahu, lalu buru-buru pergi. Timmy berlari di sisi mereka. Anjing yang tabah itu sama sekali tidak mempedulikan rasa capek. lngatannya saat itu hanya ada satu. George harus diselamatkan! "Dugaan kita ternyata tepat!" kate Julian, sambil mengayuh sepedanya ke arah villa 'Mon Trésor'. "Kalau George tidak ada di sana, mana mungkin Timmy mau ikut!" Tidak lama kemudian Timmy yang berlari mendului sudah berada di depan gerbang pagar kebun villa Rd Grant. Ia mengarahkan moncongnya ke garasi, lalu menggonggong sekali. Detik berikut terdengar suara seseorang. Bunyinya memberi kesan bahwa orang itu berada dalam suatu ruangan tertutup. "Tim! Timmy!" "George!" seru Dick, yang mengenali suara George "Di mana kau? Kami ada di sini!" "Aku di sini! Dalam garasi!" "Jangan berteriak-teriak, Dick!" desis Julian dengan kesal. "Nanti Bu Grant terbangun karena mendengar keberisikanmu. Bahkan mungkin sekarang pun ia sudah bangun!" Julian mendesis sekali lagi dengan agak keras, menyuruh George diam. Anak-anak menunggu selama beberapa saat, tanpa berbuat apa-apa. Mereka ingin mengetahui apakah Bu Grant terbangun atau tidak. Tapi dalam villa tidak kelihatan apa-apa. Suasana malam tetap sunyi senyap. George yang terkunci dalam garasi berharap semoga Bu Grant menutup jendela kamar tidurnya sementara Julian, Dick dan Anne terus menatap pintu depan villa. Akhirnya Julian berbisik dengan nada lega. "Kelihatannya Bu Grant tidak terbangun! Sekarang kita mengeluarkan George dari dalam garasi!" Dick mengangguk. "Ya, aku juga tahu bahwa ia harus dikeluarkan dari situ. Tapi kau sudah tahu caranya?" "Kita harus mencari jalan." "Kurasa, pertama-tama kita harus memanjat gerbang ini dulu," kata Anne dengan ragu-ragu "Mestinya George tadi masuk juga dengan jalan begitu..." "Dan setelah itu ia tertangkap!" sambung Julian dengan segera. "Mungkin pagar di sini dialiri listrik, atau dihubungkan dengan alat alarm. Atau mungkin juga ada perangkap yang dipasang dalam rumput," bisik Dick. "Mana mungkin!" bantah Julian sambil berbisik pula. "Kalau memang ada perangkap yang dipasang dan George terkena perangkap itu. pasti ia cedera. Ia takkan sanggup menjawab dengan suara selantang tadi. Tapi di pihak lain kita memang perlu berhati-hati. Biar aku dulu yang memanjat pintu gerbang ini. Lalu aku meloncat turun ke jalan masuk, dan tidak ke rumput. Dengan begitu aku bisa melihat ada apa di depanku. Sedang di rumput mungkin saja ada sesuatu yang tidak kelihatan!" Rencana Julian memang tepat sekali. Ia meloncat turun di balik pintu gerbang, di bagian yang tidak berumput. Setelah itu ia menyuruh Dick menyusul. "Anne, kau tetap di situ bersama Timmy," kata Julian. "Siapa tahu, kalau kami nanti juga ketahuan dan tertangkap, kau harus cepat-cepat ke Pondok Kirrin untuk meminta bantuan!" Dari balik gerbang Anne memperhatikan kedua abangnya yang menyelinap-nyelinap menuju garasi. Julian membungkuk di depan pintu garasi, lalu berbisik lewat lubang kunci. "George! George! Aku dan Dick sudah ada di sini! Kecuali pintu ini, masih adakah jalan masuk lainnya?" "Tidak!" jawab George dan dalam. "Sama sekali tidak ada! Dan pintu ini tadi dikunci oleh Bu Grant. Dalam mobil yang ada di sini aku tadi menemukan peti perkakas. Tapi sampai sekarang aku belum berhasil membuka pintu sialan ini." Dick mengumpat-umpat untuk menyatakan kekesalannya. "Kau ada akal, Ju?" tanyanya kemudian pada abangnya. Julian berpikir-pikir. Ia mendongak, memandang ke atas garasi. " "Atap garasi ini dari genteng," katanya sambil memperhatikan. "Kalau beberapa lembar kita buka mestinya George bisa meloloskan diri ke luar lewat lubang yang terjadi!" "Wah, betul juga katamu! Hebat, Ju!" kata Dick bersemangat. Sementara itu Julian sudah membung kuk kembali, lalu berbisik lewat lubang kunci. "He, George! Coba kau naik sebentar ke atas atap mobil, lalu mengetuk-ngetuk genteng yang tepat berada di atas kepalamu. Supaya aku tahu di mana kau berada!" "Beres!" balas George sambil berbisik. Dick menyandarkan punggung ke dinding garasi sambil menjalinkan tangan di depan perut. Julian menempatkan kakinya ke telapak tangan Dick, dan dengan bantuan tangga darurat itu ia berhasil naik ke atap garasi. Genteng yang terpasang di situ diangkatnya beberapa buah. Pekerjaan itu sama sekali tidak sulit baginya. Dengan hati-hati lembaran genteng yang sudah diangkat ditumpukkannya di sampingnya Dengan cepat sudah terjadi lubang yang cukup lebar. Lewat lubang itu Julian menjenguk ke dalam garasi. Samar-samar dilihatnya muka George yang tengadah memandang ke arahnya. "Kau ini macam-macam saja," tukas Julian. "Untung Timmy itu anjing yang pintar. Kalau ia tidak berenang kembali ke pulau tadi untuk membangunkan kami, kau pasti masih akan lama terkurung terus di sini!" "Timmy memang hebat!" kata George pelan. Ia merasa menyesal. "Kalau ia tidak ada - dan juga kalian...." Kini Julian terbaring di atas atap. Ia mengulurkan lengannya ke dalam lubang, lalu menarik George ke atas. "Sekarang bantu aku memasang genteng ini kembali ke tempat semula," bisiknya pada George. "Cepatlah sedikit!" George tertawa ditahan. "Bisa kubayangkan betapa tercengangnya Bu Grant besok pagi, apabila membuka pintu garasi dan melihat aku sudah tidak ada lagi di dalam! Pasti ia akan pusing memikirkan, bagaimana aku bisa keluar - padahal pintu terkunci!" bisiknya. Beberapa saat kemudian Julian dan George meluncur turun dari atap. Bersama Dick mereka cepat-cepat lari ke pintu gerbang, lalu memanjat ke luar. Sementara itu Anne masih menunggu dengan perasaan cemas, di samping Timmy. Melihat tuannya muncul dalam keadaan selamat, Timmy melonjakinya dengan gembira. Timmy begitu bersemangat, sehingga George jatuh terdorong olehnya. "Timmy! Timmy manis!" kata George sambil merangkul anjingnya. "Kau menyelamatkan diriku! Kalian juga, tentunya," sambungnya pada Julian serta kedua adiknya. "Aku benar-benar berutang budi pada kalian!" "Sekarang kita harus lekas-lekas pergi dari sini!" ajak Julian. "Ceritanya nanti saja kauceritakan, dalam perjalanan!" Anak-anak bergegas menaiki sepeda masing-masing, meninggalkan villa dengan penghuninya yang tidak ramah itu. Sesampai di Pulau Kirrin mereka langsung masuk ke tenda. Mereka merasa capek sekali, setelah mengalami saat-saat yang begitu menegangkan tadi. Bab 9 TEMPAT PERTANIAN BU REYNOLD Keesokan paginya mereka mula-mula sarapan dulu. Setelah itu mereka melanjutkan perembukan yang terputus kemarin malam. "Pertama-tama, aku perlu menegaskan suatu hal," kata Julian dengan nada tegas. "Kau telah melanggar persepakatan kita dengan petualanganmu sendiri tadi malam, George! Kita kan sudah sependapat akan menulis surat pada Bu Grant. Tapi dipihak lain, karena petualanganmu itu kite sekarang sudah agak maju dengan pengusutan kita. "Apa maksudmu?" tanya Anne dengan heran. "Kita kan ingin mengetahui apakah Bu Grant memiliki harta yang kini sedang diincar para penjahat!" kata Julian menjelaskan. "Ya, betul! Lalu" "Kita sekarang sudah memperoleh kejelasan mengenainya. Kemarin malam George sempat bercakap-cakap dengan Bu Grant, walau percakapan itu tidak bisa dibilang berlangsung secara ramah. Tapi pokoknya kita sekarang sudah tahu bahwa Bu Grant tidak memiliki perhiasan jamrud. Sebab kalau ia memilikinya, ia pasti tidak tercengang ketika George menyebutkan perhiasan itu. Bu Grant malah bersikap seolah-olah George mempermainkan dirinya!" "Hebat, Ju! Pendapatmu itu tepat sekali!" kata Dick bersemangat. "Tidak ada apa-apa yang bisa diincar para penjahat di 'Mon Trésor'!" Julian melihat bahwa George diam saja. Saudara sepupunya yang bandel itu duduk di atas batu. Ia merenung, sambil merangkul leher Timmy. "He. George! Jangan melamun saja," kata Julian. "Kau tadi mendengar apa yang kami bicarakan?" "Tentu saja!" jawab George "Semuanya kudengar dengan jelas. Tapi aku tidak sependapat dengan kalian!" "Eh! Kenapa tidak?" tanya Dick dengan mata terbuka lebar karena heran. "Kurasa sikap Bu Grant kemarin malam pasti akan begitu juga, andaikata ia memiliki perhiasan jamrud itu." "Mana mungkin! Sikapnya pasti lain!" bantah Anne. "Kalau ia benar-benar memilikinya, pasti ia akan langsung mempercayai laporanmu. Ia pasti mengucapkan terima kasih, karena diberi tahu tentang rencana perampokan itu!" "Tapi bagaimana jika ia menyangka kita benar-benar mata-mata penjahat yang ditugaskan untuk melihat keadaan di situ?" balas George. "Kalau sangkaannya mengenai diri kita begitu, malah ia memang harus bersikap pura-pura heran ketika aku menyebut-nyebut perhiasan jamrud itu! Ia memang harus bersikap seolah-olah tidak memilikinya! Karena kalau ia tidak punya perhiasan, apa gunanya penjahat merampok ke situ. Ya kan?" Keempat bersaudara itu masih agak lama juga merundingkan masalah itu. Tapi mereka tidak berhasil mencapai kata sepakat mengenai Bu Grant. Akhirnya Julian mengambil keputusan. "Yang penting adalah bahwa kita melakukan pengusutan secara berurutan," katanya. "Bu Killarney sudah jelas tidak masuk hitungan lagi. Bu Grant? Masih ada kemungkinannya. Tapi di samping mereka ada Bu Reynold. Karena itu kusarankan agar kita sekarang mendatanginya. Bagaimana selanjutnya, tergantung dari hasil penyelidikan kita nanti!" "Ya, setuju. Itu ide yang bagus" seru George. Ia langsung berdiri. "Kapan kita berangkat? Aku setuju kalau langsung sekarang juga!" Anak-anak naik perahu lagi ke tepi teluk. Saat itu mereka sudah sadar bahwa penyelidikan kali ini lebih sulit dari sangkaan mereka semula. Dan ketiga penjahat yang ada, hanya dua yang dilihat oleh George. Dan itu pun hanya sekilas saja. Satu-satunya yang bisa dijadikan pegangan ialah nama depan kedua penjahat itu. Tapi anak-anak sama sekali tidak tahu di mana perhiasan yang diincar para penjahat, dan siapa pemiliknya! Kesialan anak-anak ternyata belum berakhir. Bu Reynold sama sekali tidak berhasil mereka temui. Ketika Julian beserta ketiga saudaranya tiba di tempat pertanian dan minta bicara dengan Bu Reynold, salah seorang wanita yang bekerja di situ mengatakan bahwa majikannya tidak pernah mau menerima tamu. Bu Reynold sendiri yang menangani tugas-tugas pengelolaan perusahaan pertaniannya itu. Ia sendiri yang mengatur pekerjaan di situ. Ia sendiri pula yang menjual hasil-hasil pertaniannya. "Saat ini ia sedang memuat telur dan ayam ke dalam mobil, untuk dibawa ke pasar. Jika kalian ingin berbicara dengan dia, sebaiknya kalian menelepon dulu untuk membuat perjanjian. Tapi kurasa ia pasti takkan mau!" kata wanita pekerja itu sambil tertawa. "Bu Reynold hanya punya waktu untuk bisnisnya saja. Ia tidak suka mengobrol!" Saat itu anak-anak melihat sebuah mobil berjalan di pekarangan, menuju ke luar. Mobil itu dikendarai seorang wanita. "Itu dia!" kata wanita pekerja itu. "Bu Reynold! Bu Reynold!" Julian memanggil-manggil sambil melambaikan tangannya. "Sebentar Bu." Mobil itu berkurang kecepatannya. Wajah seorang wanita bermuka kurus dan galak memandang dari balik jendela. "Ada apa?" tanya wanita itu dengan ketus. "Saya ingin berbicara sebentar!" kata Julian. "Ada urusan penting sekali!" "Urusan bisnis" tanya wanita itu. "Bukan, Bu. Pribadi," kata Julian. "Tidak ada waktu!" Julian tercengang mendengar jawaban singkat itu. Sementara itu mobil sudah meluncur lagi, dan menghilang di balik kepulan abu jalan. "Astaga!" kata Anne kaget. "Ketus sekali sikapnya!" "Kan sudah kukatakan sedari tadi," kata wanita pembantu Bu Reynold sambil tertawa. "Nah - aku harus bekerja lagi sekarang." Wanita itu masuk ke kandang. Saat itu muncul seorang laki-laki yang sudah tua, Rupanya ia juga bekerja di situ. Ia menghampiri Julian dan saudara-saudaranya sambil tersenyum ramah. "Kalian tadi ingin bertemu dengan majikanku?" tanya laki-laki itu. "Ya," jawab George dengan tampang masam. Ia merasa sakit hati melihat sambutan Bu Reynold yang kasar tadi. "Kami perlu menyampaikan kabar penting padanya. Kabar penting untuknya!" Pekerja itu tertawa keras. "Kalau kabar itu memang benar penting untuknya, mestinya ia mau mendengarkan! Soalnya, yang penting bagi Bu Reynold adalah uang! Minatnya hanya pada uang saja. Kikirnya bukan main! Tentang itu aku tahu pasti. Kabarnya uang simpanannya banyak sekali. Kecuali itu ia juga menyimpan harta dalam ruangan di bawah tanah. Bu Reynold menyangka tidak ada yang tahu mengenainya. Padahal orang sekitar sini tahu semua mengenai hal itu!" Anak-anak mendengar cerita pekerja tua itu dengan penuh perhatian. Mereka menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Tapi mengenai harta, tidak banyak lagi yang bisa diceritakannya. Ia hanya mendengar kabar bahwa Bu Reynold menyembunyikan sesuatu di gudang bawah tanah. Apa benda itu, tidak ada yang tahu. Tapi pasti harta! Bab 10 PERTEMUAN TAK TERDUGA "Kurasa persoalannya kini sudah jelas," kata Julian kemudian, ketika mereka duduk-duduk di pantai. "Hanya Bu Reynold saja yang mungkin merupakan wanita pemilik perhiasan jamrud itu. Setelah pembicaraan kita di pertanian miliknya tadi, kurasa Ru Grant tidak mungkin lagi kita sangka pemilik harta itu." "Itu memang masuk akal," kata George menyatakan pendapatnya. "Tapi walau begitu, tentang Bu Grant ada sesuatu yang menurut perasaanku tidak beres. Aku dikurungnya dalam garasi, padahal aku hanya ingin berbicara dengannya. Tindakannya itu menurutku berlebih-lebihan! Karena itu bagiku ia masih tetap mungkin calon korban para penjahat itu. Jadi saat ini kita masih tetap belum tahu dengan pasti, siapa di antara Bu Grant dan Bu Reynold yang saat ini diincar para penjahat. Karenanya kita belum bisa melapor pada polisi!" "Betul!" kata Dick dengan suram, "Kalau kita melapor juga, paling-paling kita diterawakan nanti. Polisi sudah pasti tidak senang, dan kita diusir!" "Orang dewasa selalu beranggapan bahwa anak-anak bisanya hanya merepotkan saja," keluh Anne. "Karenanya kita harus berusaha membuktikan bahwa anggapan itu keliru! Artinya kita harus terus mengawasi 'Mon Tresor' dan tempat tinggal Bu Reynold. Kita tidak bisa banyak beristirahat dalam liburan sekali ini," kata George dengan tegas. Selama hari-hari berikutnya anak-anak mengawasi lingkungan kedua tempat tinggal yang mereka duga akan menjadi sasaran perampokan. Tapi para penjahat tidak pernah muncul di situ. Anak-anak juga tidak berhasil menemukan petunjuk baru. Mereka masih berusaha sekali lagi untuk menemui Bu Reynold. Tapi usaha itu gagal pula. Wanita pengusaha pertanian itu dengan tandas menolak untuk berbicara dengan mereka. "Lama-kelamaan aku mulai merasa bahwa soal perampokan perhiasan jamrud ini sebenarnya ada dalam khayalan kita saja!" kata Anne pada suatu hari. Anak-anak sudah nyaris putus asa. Sementara itu waktu berjalan terus. Saat itu sudah tanggal 20 Juli. Tinggal 10 hari lagi sebelum rencana perampokan akan dilaksanakan! Anak-anak merasa pusing memikirkan kejadian itu. Siapakah sebenarnya Robert, penjahat ketiga yang misterius itu. "Coba aku bisa berjumpa lagi dengan kedua penjahat yang kuintip waktu itu!" kata George dengan nada kesal. "Kita akan bisa membuntuti mereka dengan diam-diam, dan dengan begitu setidak-tidaknya tahu di mana tempat tinggal mereka!" Anne membereskan sisa sarapan mereka. Ia melihat bahwa perbekalan makanan sudah sangat menyusut. Coklat sudah habis. Begitu pula dengan mentega. Sedang gula dan biskuit tinggal sedikit! "Kita juga memerlukan tambahan kentang, korek api, tomat dan telur," katanya sambil memeriksa tempat persediaan makanan. "Dan kalau kebetulan kita melihat keju yang enak ..." "Dengan perkataan lain, semuanya kita perlukan" kata Julian sambil tertawa. Anne memang sangat suka pada pekerjaan rumah tangga. Ia sama sekali tidak merasa berkeberatan jika disuruh mengatur rumah. Lain sekali dengan George, yang kalau disuruh pasti langsung cemberut. Ia lebih suka bergulat dengan kedua saudara sepupunya yang laki-laki! "Kalau begitu kita berbelanja saja sekarang ke Kirrin!" kata Dick. George mendorong perahunya yang bernama"Topan" ke air, sementara saudara-saudaranya naik sambil membawa keranjang belanjaan. Sesampai di Kirrin mereka langsung pergi ke pasar untuk berbelanja. Selesai berbelanja mereka menitipkan keranjang-keranjang yang sudah penuh pada seorang wanita tua penjual keju kenalan mereka. Mereka masih ingin berjalan-jalan sebentar, menikmati keramaian pasar. "Wah! Ramai sekali pasar hari ini!" seru Dick dengan gembira. "Macam-macam tampang orang yang nampak di sini. Nah, nah - di sana terjadi keributan. Lihatlah!" Orang-orang berkerumun, mengelilingi seorang wanita penjual ikan yang sedang ribut bertengkar dengan seorang pembeli yang marah-marah. Keempat anak itu asyik melihat orang itu, yang mengumpat-umpat. Rupanya ia menuduh tukang ikan menjual ikan yang sudah tidak segar lagi. Tiba-tiba George terdorong oleh seseorang dengan kasar ke samping. George berpaling dengan marah. Tapi saat itu juga ia terpaku, tidak jadi menyemprot orang yang mendorongnya itu. Di depannya ia melihat seorang laki-laki bertubuh kurus jangkung yang berambut merah. Potongan tubuhnya mirip dengan Leo, penjahat yang dilihatnya di pantai Pulau Kirrin bersama laki-laki kekar yang bernama Herman! George cepat-cepat menelan kata-kata yang sudah hampirterlontar dari mulutnya. Untung orang itu tidak memperhatikannya! George menggamit saudara-saudaranya. "Kalian melihat laki-laki berambut merah yang di sana itu?" bisiknya pada mereka. "Aku tidak berani memastikan - tapi rasa-rasanya orang itulah yang bernama Leo!' Saudara-saudaranya kaget, lalu memandang ke arah yang ditunjuk. Betulkah George berhasil menemukan jejak penjahat itu? "Wah, hebat kalau katamu itu ternyata benar," kata Julian. "Kita harus terus membuntutinya! Nanti akan ketahuan juga apakah kau tidak keliru, George!" "Hah - akhirnya ada juga jejak yang bisa kita ikuti," kata Dick bersemangat. "Ia pasti akan membawa kita ke tempat orang yang bernama Herman!" "Itu kalau ia memang Leo!" kata George. "Tapi tidak ada salahnya menyelidiki di mana tempat tinggal laki-laki itu," kata Anne sambil tersenyum. "Asal ia tidak naik mobiI" kata Dick agak khawatir, "Kalau ia nanti naik mobil, tak mungkin kita bisa membuntuti." "Siapa bilang tidak bisa! Kan ada jejak ban mobil yang bisa kita ikuti!" bantah George. "Sudah - jangan bertengkar!" kata Julian menengahi. "Laki-laki itu pasti tidak menunggu sampai kalian selesai berbantah." Sementara itu pertengkaran antara penjual ikan dengan pembelinya sudah selesai. Orang-orang yang tadi berkerumun sudah bubar, karena tidak ada lagi yang di tonton. Laki-laki yang berambut merah melintasi lapangan pasar. Ia menuju ke sebuah kedai minum. Orang-orang yang capek sehabis berbelanja bisa duduk-duduk di teras depan kedai itu, di mana di pasang payung-payung besar yang berwarna-warni. Laki-laki itu duduk di bawah salah satu payung. Di tempat itu sudah ada seorang laki-laki lain. Orang itu bertubuh kekar, dengan rambut potongan pendek. "Itu Herman" bisik George bersemangat. "Kalau dia, aku tahu pasti! Waktu itu aku melihat mukanya dengan jelas. Kita sudah berhasil menemukan jejak kedua penjahat itu!" "Asal nanti tidak lolos lagi!" kata Julian khawatir. "Atau kita ketahuan oleh mereka!" tambah Dick sambil nyengir. Ia sengaja mengatakan begitu, untuk menakut-nakuti Anne. "Sudahlah, Dick - kau ini senang sekali mengganggu Anne," kata George. "Lebih baik kita berusaha menguping, untuk mengetahui apa yang dirundingkan oleh kedua orang itu. Sebaiknya kita duduk saja di meja sebelahnya. Mereka kan tidak tahu siapa kita. Jadi pasti mereka tidak merasa curiga, jika kita duduk dekat mereka. Mereka takkan menduga bahwa kita ingin mendengarkan pembicaraan mereka." Tanpa menunggu persetujuan saudara-saudaranya, George langsung pergi ke meja yang masih kosong dekat kedua laki-laki itu, lalu duduk di kursi yang tersedia di situ. Saudara-saudaranya datang menyusul, tanpa mengatakan apa-apa. Kedua penjahat yang sedang asyik berunding, sama sekali tidak mempedulikan mereka. Karenanya anak-anak bisa dengan leluasa mengikuti pembicaraan kedua orang itu. Kebetulan mereka bercakap-cakap dengan suara yang tidak begitu pelan. Rupanya mereka merasa aman di situ! "Jadi Robert akan datang besok, Leo? Kau tahu pasti tentang itu?" "Ya, Pak Herman," jawab Ieo. "Ia akan langsung mulai bekerja - agak lebih cepat dari rencana semula." "Kalau begitu kita juga bisa lebih cepat melaksanakan rencana kita," kata laki-laki yang bernama Herman. "Lebih baik jangan, Pak," kata Leo. "Sekarang daerah sini masih ramai. Nanti tanggal 30 Juli, orang-orang yang berlibur di sini kebanyakan sudah pulang ke tempat masing-masing. Saat itu kita bisa lebih tenang beraksi. Tidak ada risiko ketahuan." "Husy, pelan sedikit bicaramu! Aku tidak tuli!" "Ya, Pak. Jadi begini...." Laki-laki berambut merah itu kini berbisik-bisik. Anak-anak saling pandang-memandang. Siapakah Robert itu? Dan di manakah ia akan bekerja mulai besok? Mereka tidak berani membicarakan teka-teki itu dengan suara nyaring. Karena itu mereka sibuk menulis di atas kertas, yang kemudian saling disodorkan. Orang yang tidak tahu pasti menyangka mereka sedang bermain teka-teki. "Robert itu mungkin pembantu yang baru di villa Bu Grant," tulis Dick di atas kertas. "Bukan," tulis Julian di bawahnya. "Kurasa lebih mungkin pekerja di pertanian milik Bu Reynold." "Kedua-duanya mungkin saja," demikian catatan Anne. "Jadi kedua jejak harus kita ikuti terus," tulis George. Tapi saudara-saudaranya tidak sempat membaca komentarnya, karena saat itu Leo dan Herman berdiri dari kursi masing-masing. Untung anak-anak tadi sudah langsung membayar limun rnereka, ketika diantar pelayan kedai minum. Karenanya mereka pun langsung bangkit. Dengan sikap yang tidak menyolok, mereka mengikuti kedua penjahat itu dan belakang. "Perburuan dimulai!" kate Dick bersemangat. "Ini bukan main-main, Dick!" tukas Julian. "Ini merupakan bagian yang paling berbahaya dalam penyelidikan kita!" Sementara itu Timmy juga sudah mengenali kedua penjahat itu, dari bau mereka. Timny berdiri dengan bulu tengkuk menegak. Ia menggeram-geram, menunggu aba-aba tuannya. Tapi George memegang kalung leher anjingnya itu. "Diam, Timmy! Sekarang belum waktunya. Kita tidak boleh ketahuan oleh mereka!" Timmy menurut, walau ia tidak mengerti alasannya. Ia sebetulnya ingin langsung menerjang kedua laki-laki itu. Ia merasa bahwa kedua orang itu pasti bukan orang baik-baik. Bab 11 PERBURUAN Keempat remaja itu berjalan dergan santai, seperti sedang pesiar di situ. Mereka memperhatikan barang-barang yang diperdagangkan di pasar. Padahal setiap kali mereka melirik kedua penjahat yang berjalan di depan mereka. Untung saja keduanya tidak tergesa-gesa. Leo dan Herman berjalan dengan langkah lambat, sambil bercakap-cakap. Mereka menyusur jalan raya desa Kirrin. Tapi tiba-tiba anak-anak kaget, melihat kedua laki-laki itu bersalaman lalu berpisah. Laki-laki yang bernama Herman masuk ke sebuah toko rokok. Sedang Leo melanjutkan langkahnya. Anak-anak harus cepat-cepat mengambil keputusan! "Aku dan Anne membuntuti Leo," kata Julian. "Sedang kalian, awasi terus laki-laki yang bernama Herman. Nanti kita berkumpul lagi di kedai tadi. Siapa yang lebih dulu datang harus menunggu!" "Beres," kata George. "Jadi sampai nanti" Julian dan Anne berjalan, mengikuti Leo dan belakang. George dan Dick berdiri di depan etalase toko rokok. Mereka pura-pura asyik memperhatikan beberapa korek api yang bagus buatannya. Timmy memandang George dengan heran. Ia tahu, tuannya tidak merokok. Kalau begitu kenapa ia berdiri di depan toko rokok? Leo kini berjalan agak cepat. Julian sebenarnya cukup panjang langkahnya. Walau begitu ia agak kewalahan juga mengikuti orang itu. Anne yang bertubuh mungil sampai harus berlari-lari, agar jangan sampai tertinggal. Napasnya terengah-engah. Julian mulai gelisah. Kalau Leo terus berjalan dengan cepat, pasti sebentar lagi Anne akan kehabisan tenaga. Kecuali itu apabila mereka terus mengikuti sambil bergegas-gegas, tidakkah Leo nanti timbul kecurigaannya?" Walau begitu Julian masih terus saja membuntuti. Kelihatannya seperti sibuk berpikir. Pandangannya ditatapkan ke jalan. Sedang Leo sama sekali tidak pernah menoleh. Jelas bahwa ia tidak menduga bahwa saat itu ada yang sedang membuntutinya. Sementara itu desa sudah ditinggalkan. "Masih berapa lama lagi kita mengikutinya terus?" kata Anne dengan napas tersengal-sengal. Hal itu rupanya yang sedang dipikirkan oleh Julian. Menurut pendapatnya, jika Leo nanti membelok di salah satu tempat, mereka terpaksa berhenti membuntuti. Tapi tiba-tiba penjahat itu berhenti. Sebuah sepeda motor nampak diparkir di bawah pohon di pinggir jalan. Leo menghampiri kendaraan itu. Ia mendorongnya ke jalan, lalu menstarternya. Dan tempat yang agak terlindung, Julian memandang dengan jengkel. Itulah yang dikhawatirkan olehnya sejak tadi. Leo ternyata datang dengan kendaraan bermotor. "Sekarang kita tidak bisa membuntutinya lagi!" katanya sambil mengeluh. "Kita hanya bisa mencatat nomor kendaraannya saja!" Sementara itu Dick menempelkan mukanya ke kaca etalase toko rokok di desa. "Jangan begitu!" kate George menggerutu. "Kausangka orang di dalam tidak bisa melihat perbuatanmu? Nanti kita masih bisa mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Herman!" Dan benarlah - tidak lama kemudian laki-laki bertubuh kekar itu muncul di ambang pintu toko. Ia sibuk mengisi tembakau ke dalam pipa, sehingga tidak memperhatikan anak-anak yang berdiri tidak jauh dan situ. Timmy menggeram lagi. "Ssst!" desis George. "Tenang, Tim!" Herman berjalan dengan langkah lambat, menyusur jalan besar. Karenanya dengan mudah George dan Dick bisa mengikutinya dan belakang. Keduanya berjalan sambil mengobrol tentang barang-barang yang narnpak dipajang dalam etalase loko-toko. Mereka bersikap seperti anak-anak yang sedang herlibur di situ. Tiba-tiba Herman membelok, memasuki pintu sebuah rumah. George buru-buru menyusul. "Jika kita bernasib baik, ia tinggal di sini!" katanya bergairah. "Yuk, kita lihat saja nama-nama yang tertera pada deretan kotak surat dalam gang ini!" Ternyata Dick dan George memang sedang mujur! Pada sebuah kotak surat terternpel secarik kartu nama. Di situ tertulis, 'Herman Stick. Tingkat II'. "Sekarang kita sudah tahu di mana tempat tinggalnya," kata George puas. "Ada kemungkinannya bahwa ini bukan namanya yang sebenarnya. Mungkin ia memakai nama palsu. Tapi masa bodoh, pokoknya ia tinggal di sini. Yuk, ini perlu cepat-cepat kite beritahukan pada Anne dan Julian." Mereka bergegas kembali ke kedai minum. Tidak lama kemudian Julian tiba di situ pula, bersama Anne. Anak itu segera melupaken rasa capeknya. ketika mendengar cerita George dan Dick. Keempatnya bergembira. karena pengusutan mereka mulai berkembang. "Seorang penjahat sudah terjaring!" kata Julian. "Tapi sayangnya, saat ini kita sama sekali tidak punya bukti yang memberatkan dirinya. Polisi takkan mau menangkapnya, jika ia kita adukan sekarang! Kita harus berusaha memergokinya apabila ia bersama teman-temannya sedang melakukan perampokan. Kalau begitu, polisi pasti akan mau percaya!" Bab 12 ROBERT "Sekarang sudah tanggal 28 Juli!" kata Dick beberapa hari kemudian. "Lusa Leo dan Herman akan melakukan aksi mereka. Tapi sampai saat hari kita masih selalu saja helum tahu, siapa sebenarnya yang akan mereka rampok. Apa yang bisa kita lakukan sekarang" "Sebaiknya lusa kita membuntuti Herman. Lalu ketika ia bersama kawannya masuk ke 'Mon Tresor' atau ke tempat tinggal Bu Reynold untuk merampok, kita cepat-cepat minta tolong!" kata George menyarankan. "Itu berbahaya!" kata Julian sambil menggelengkan kepala. "Aku...aku takut!" kata Anne dengan wajah pucat. "Penakut!" kata Dick mengejek. "Jangan kauganggu terus adikmu, Dick!" bentak Julian. "Masih ada urusan penting yang perlu kita bicarakan. Bagaimana jika nanti ternyata bahwa Herman sama sekali tidak ikut dalam perampokan itu? Kan mungkin saja ia otaknya, sedang para pelakunya orang lain!" "Kalau begitu aku juga tidak tahu - percuma saja kita terus-menerus mengamat-amatinya," kata Dick. "Kalau dugaanmu ternyata benar, kita sial!" "Kita harus bisa mengetahui, siapa sebenarnya orang yang bernama Robert itu. Kelihatannya perampokan yang direncanakan hanya bisa dilaksanakan, kalau dia ada. Tanpa Robert, aksi tidak dapat dijalankan. Sekarang kita masih punya waktu tiga hari. Selama itu masih banyak yang bisa terjadi," kata George membesarkan hati saudara-saudaranya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa harapannya itu akan dengan segera menjadi kenyataan! Hari itu ia disuruh ayahnya mengantar surat ke kantor pos. Ketika ia keluar lagi dari kantor itu, ia disapa oleh, seorang remaja yang berpakaian seperti pengantar telegram. "Maaf, saya orang baru di sini," kata remaja itu dengan sopan. "Saya harus mengantarkan dua telegram, tapi saya tidak tahu letak rumah orang yang dialamatkan di sini. Bisakah kau membantu saya sebentar?" Sambil tersenyum ramah, George mengambil kedua surat telegram itu. "Coba kulihat," katanya. "Orang asli desa sini hampir semuanya kukenal!" "Ian Llanelly, Jalan Pantai - dan Robert Miller, Villa Samudera," kata pengantar telegram itu sambil membaca alamat yang tertera pada sampul kedua telegram itu. George langsung menjelaskan di mana letak kedua alamat itu, karena ia memang mengenalnya. "Ian Llanelly," kata pengantar telegram itu sambil tertawa nyengir. "Nama orang sini aneh-aneh! Kalau Robert Miller, itu baru nama yang biasa. Namaku juga Robert. Ya deh - terima kasih! Aku harus lekas-lekas mengantar kedua telegram ini!" Pengantar telegram itu meloncat ke atas sadel sepedanya lalu pergi sambil bersiul-siul, meninggalkan George yang memandangnya sambil melongo. "Anak itu bernama Robert," gumannya "Kau kan juga mendengarnya tadi, Timmy. Ia juga mengatakan, Ia orang baru disini. Mestinya ia itulah orang ketiga yang ditunggu-tunggu oleh Leo dan Herman!" "Mungkin para penjahat itu menyusun rencana begini," kata Julian, ketika malam itu mereka sudah berkumpul kembali di sekeliling api unggun di pulau. "Robert membawa telegram pada calon korban mereka. Dalam telegram itu ada berita untuk memancing sang korban agar meninggalkan rumahnya. Nah - saat ia sedang pergi, para perampok membongkar rumahnya. Gampang, kan?" "Itu berarti bahwa Robert harus terus kita amat-amati!" kata Dick. "Dengan begitu kita akan mengetahui ke mana saja ia mengantarkan telegram nanti!" Keesokan harinya Robert sibuk mengantar telegram demi telegram. Tapi semua dialamatkan pada keluarga-keluarga yang sedang berlibur di pesisir situ. Mereka tinggal di villa-villa yang terdapat di pantai atau di desa. Robert sama sekali tidak pernah bersepeda ke arah 'Mon Trésor' atau ke pertanian milik Bu Reynold, yang masih termasuk daerah pelayanan kantor pos desa Kirrin. "Kelihatannya seolah-olah takkan terjadi apa-apa," keluh Anne, ketika mereka malamnya duduk-duduk di perkemahan. "Benar-benar mengesalkan." "Kalau benar tak terjadi apa-apa, itu malah bagus," kata George sangsi. "Tapi aku tidak percaya. Para penjahat pasti akan melancarkan aksi mereka!" Bab 13 TERTANGKAP Akhirnya tibalah tanggal yang menegangkan itu. Tanggal 30 Juli. Hari itu cerah. Matahari pagi bersinar. menerangi permukaan laut. Angin bertiup pelan. "Sekarang tibalah saat yang ditunggu-tunggu" kata Dick, lalu mencuci badannya di mata air. Kesejukannya melenyapkan sisa-sisa rasa mengantuk. "Mudah-mudahan hari ini kita berhasil," kata Julian, sambil mengeringkan punggung dengan handuk. "Keterlaluan, sampai sekarang kita boleh dibilang tidak tahu sedikit pun, apa yang akan kita hadapi nanti!" Ketika kantor pos desa Kirrin dibuka pagi itu, anak-anak sudah bersiap-siap di dekat situ. Robert perlu diawasi terus-menerus. Hari itu setiap kejadian pasti penting artinya. Desa hari itu sangat ramai, karena liburan sudah hampir berakhir. Karenanya Julian beserta ketiga saudaranya sara sekali tidak menjumpai kesulitan dalam membuntuti Robert. Di tengah keramaian orang yang lalu-lalang di jalan, pengantar telegram itu sama sekali tidak menduga bahwa ia sedang dibuntuti. Dick mendapat tugas untuk paling dulu mengikuti remaja itu, sementara saudara-saudaranya menunggu di kedai minum. Mereka memesan coklat dan roti. Mereka melewatkan waktu menunggu dengan jalan main kartu. Sekitar satu jam kemudian Dick muncul kembali. "Biasa saja!" katanya dengan nada kecewa. "Hanya dua telegram yang diantarkannya tadi. Satu untuk keluarga turis yang tinggal di penginapan 'Buih Ombak', sedang yang satu lagi untuk seorang nelayan di pelabuhan. Cuma itu saja!' George bergegas bangkit. "Sekarang giliranku!" katanya. "Yuk - sampai nanti !" Tapi ía terpaksa menunggu beberapa saat di depan kantor pos. Dan ketika pengantar telegram berangkat lagi, ternyata hanya ke sebuah rumah yang letaknya di tengah desa. Benar-benar mengesalkan: penerima telegram hari itu semuanya tinggal di desa Kirrin! Tidak sekali pun Robert meninggalkan daerah desa itu, padahal saat itu sudah siang. Anak-anak tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan. "Jangan-jangan kita keliru!" kata Julian, ketika kantor pos ditutup menjelang petang. "Remaja yang bernama Robert itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan perampokan yang akan terjadi. Potongannya memang tidak seperti penjahat! Jadi mestinya ada Robert lain, yang dimaksudkan oleh kedua penjahat itu. Dan Robert itu tidak kita kenal. Kita selama ini mengikuti jejak yang keliru, sehingga waktu berharga terbuang percuma! Aku sekarang merasa kasihan pada pengantar telegram itu. Begitu pula pada Bu Reynold dan Bu Grant. Jika salah seorang di antara keduanya benar-benar menjadi korban perampokan "Jangan terlalu lekas putus asa!" potong George. "Aku masih belum percaya bahwa kita keliru! Aku punya perasaan bahwa kesialan kita ini sebentar lagi akan berakhir ." "Itu harus terjadi dengan segera, karena waktu kita tidak banyak lagi," kata Dick menggerutu. "Satu-satunya petunjuk yang masih ada pada kita tinggal Herman. Yuk - kita lihat sebentar, apakah ia ada di runah!" Tapi Herman Stick kelihatannya tidak ada di tempat kediamannya. Dick bahkan memberanikan din dan menekan bel, untuk memastikan bahwa orang itu benar-benar tidak ada. "Sekarang kita harus bertindak dengan cepat, apabila masih ingin mencapai hasil," seru Julian. "Kita makan dulu sebentar. Sesudah itu kita langsung berangkat. Kedua rumah yang mungkin menjadi sasaran perampok harus kita jaga - juga apabila nanti ternyata tindakan kita itu sia-sia!" Sehabis makan anak-anak bersepeda kembali, menuju ke utara. Kemudian mereka memecah menjadi dua kelompok, seperti sebelumnya. Julian dan Anne berjaga dekat tempat pertanian milik Bu Reynold. Sedang George, Dick dan Timmy bersembunyi dalam semak, dekat gerbang villa 'Mon Trésor'. Anak-anak merasa lesu saat itu. Mereka merasa selama itu mencurigai Robert, pengantar telegram, tanpa alasan. Sekarang kalau salah satu rumah itu benar-benar dirampok, apakah yang akan bisa mereka lakukan? Mereka masing-masing kan hanya berdua - jadi tidak mungkin sanggup melawan perampok yang datang bertiga! "Ah - coba kedua wanita itu mau mempercayai laporan kita," keluh George. Matahari terbenam di ufuk barat. Sekeliling mereka menjadi gelap. Julian bersembunyi di balik semak, dekat pertanian Ru Reynold. Ia merasa bertanggung jawab dan saat itu sibuk menyesali diri, kenapa tidak langsung melaporkan hat itu pada Paman Quentin. Ah, kenapa ia mau mendengar bujukan George. Memang, Paman selalu sibuk dengan perhitungannya, pikir Julian lebih lanjut. Besar sekali kemungkinannya bahwa ia akan marah, apabila mendengar cerita anak-anak mengenai rencana perampokan itu. Bagi Paman, cenita George selalu dianggap khayalan belaka. Kecuali itu, sekarang sudah terlambat. Tiba-tiba Julian tergugah dari lamunannya, karena terdengar bunyi ranting patah. Anne yang berbaring di sebelahnya bergerak-gerak. Mungkin karena merasa gatal. "Ssst' Jangan berisik, Anne. Nanti ketahuan!" desis Julian. "Ketahuan oleh siapa?" bisik Anne. "Di sini tidak ada siapa-siapa !" Katanya itu memang benar. Bintang-bintang sudah bertaburan memenuhi langit. Para pembantu yang bekerja di tempat pertanian Bu Reynold sudah lama pulang ke rumah masing-masing. Sedang majikan mereka kelihatannya sudah tidur. Anne dan Julian menatap ke dalam kegelapan. Mereka menunggu.... Tapi apa sebenarnya yang ditunggu? Juhan merasa jengkel karena tidak bisa berbuat apa-apa. Sedang dalam hati Anne merasa bangga pada ketabahannya sendiri. Rasa takutnya tadi sudah lenyap. "Bosan rasanya di sini terus!" gumam Anne setelah beberapa waktu. "Mungkin kita terlalu jauh dari tempat pertanian, sehingga tidak bisa mengamat-amati dengan jelas. Yuk kita menyelinap maju, supaya bisa lebih dekat!" "Bisa saja kita lakukan." kata Ju!ian agak ragu. Ia merasa heran melihat Anne yang tiba-tiba menjadi berani. Tempat persembunyian mereka terletak di tepi parit yang melintang di depan jalan masuk ke kompleks pertanian. Semak yang membatasi parit itu melindungi mereka. Tapi penglihatan mereka pun terhalang karenanya. "Sebaiknya kita menyelinap dulu, masuk ke pekarangan. Dekat kandang ayam yang di sana itu kulihat ada gerobak. Kita bersembunyi di bawahnya. Selanjutnya, kita lihat saja nanti," bisik Julian. Anne sebetulnya agak ngeri, tapi ia tidak berani membantah. Bukankah ia sendiri yang tadi mengusulkan agar maju lebih mendekati rumah Bu Reynold! "Baiklah, Ju! Tapi kau dulu," katanya. Kedua anak itu merangkak-rangkak di tempat gelap. Mereka bergegas menyeberangi jalan. Gerbang masuk ke pekarangan ternyata digembok. Pekarangan itu dikelilingi pagar kawat yang tinggi. Tapi pada satu bagian pagar kawat itu berlubang sebelah bawahnya. Lubang itu cukup besar untuk diselusupi. Beberapa saat kemudian Anne dan Julian sudah sampai di pekarangan. Keadaan sekeliling mereka sunyi-sepi. "Itu - di sana gerobak yang kukatakan tadi," bisik Julian. "Cepat - kita bersembunyi di bawahnya!" "Kurasa kita lebih baik bersembunyi dalam pondok yang di sana itu,' kata Anne. "Kau ini bagaimana?" tukas Julian sambil berbisikbisik. "Itu kan kandang-kandang ayam! Kalau kita ..." Julian tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Ketika mereka berdua berbisik-bisik itu, mereka semakin maju mendekati pondok-pondok yang dimaksudkan oleh Anne. Tiba-tiba Anne tersandung. Ia menggapai-gapai mencari pegangan. Tahu-tahu terdorong olehnya pintu salah satu kandang itu sehingga terbuka. Ayam jantan yang ada di situ kaget, lalu angsung berkokok. Mendengar itu ayam-ayam betina berkotek-kotek dengan ribut. Bahkan orang tuli pun pasti kaget mendengar suara berisik di tengah malam itu. "Sialan!" kata Julian mengumpat. "Sekarang kita pasti ketahuan! Bu Reynold pasti akan mengira kita ini pencuri ayam" Anne yang masih belum pulih dan kekagetannya, membiarkan dirinya diseret-seret oleh abangnya menuju lubang di pagar. Tapi mereka tidak sempat lagi lari, karena saat itu juga mereka disilaukan cahaya terang yang berasal dari senter. Dua orang laki-laki datang menghampiri dengan sikap mengancam. "Nah, sekarang kalian tertangkap tangan!" tukas satu dan kedua laki-laki itu. "Kalian sangka kami ini tolol, tidak menyadari bahwa kalian sudah beberapa hari berkeliaran terus di sekitar sini! Anne dan Julian dicengkeram oleh kedua laki-laki tu, lalu digoncang-goncang tanpa mengenal kasihan dan dibentak-bentak. Kedua anak itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengatakan apa-apa. "Kalian tadi masuk lewat tubang di pagar, kan? Kami memang sengaja membuat lubang di situ, supaya kalian masuk lalu tertangkap tangan. Kalau tidak begitu, masakan kami tidak sudah lama membetulkannya?!" "Kalian salah sangka tentang Bu Reynold! Ia sendiri yang mendapat gagasan yang bagus ini, untuk menjebak kalian." "Jadi kalian rupanya hendak mengincar ayam, ya" kata laki-laki yang meringkus Julian. "Itu sama sekali tidak benar!" bantah Julian dengan marah, ketika melihat kesempatan untuk mengatakan sesuatu- "Kami bukan pencuri!" "Lalu apa namanya orang yang malam-malam menyelinap masuk ke dalam kandang ayam, kalau bukan pencuri ayam?" ejek orang yang memegangnya. "Kami kemari, sama sekali bukan karena ayam-ayam sialan itu!" kata Julian sambil mengumpat-umpat. "Adikku tadi secara tidak sengaja mendorong pintu kandang, karena ia tersandung batu. Karena itulah ayam berkotek-kotek!" "Kalau begitu, mau apa kalian di pekaranganku ini?" Tiba-tiba terdengar suara Bu Reynotd yang galak. Wanita itu datang menghampiri. "Masih muda begini sudah mulai mencuri! Tapi kalian rupanya belum berpengalaman," katanya dengan sikap merendahkan. "Ketika beberapa hari yang lalu kalian datang dan menyatakan ingin bicara dengan aku, saat itu aku sudah agak curiga. Kecurigaanku itu bertambah, ketika setelah itu kalian berhari-hari berkeliaran terus di sekitar sini. Aku lantas menarik kesimpulan bahwa kalian bermaksud hendak mencuri di sini. Sudah beberapa malam ini para pekerjaku menjaga malam-malam menunggu kalian. Dan sekarang kalian ternyata tertangkap tangan!" Julian marah sekali. Ia datang dengan Anne untuk memberi tahu pada Bu Reynold bahwa ada perampok hendak mencuri ke situ. Tapi kini malah mereka sendiri yang dituduh mencuri! "Anda keliru!" seru Julian. "Kami sama sekali tidak berniat mengambil apa-apa dan sini! Yang hendak merampok itu orang lain. Mereka bermaksud akan melancarkan aksi malam ini juga. Percayalah - kami datang untuk mencegah perampokan itu. Itu sebabnya kami ada di sini!" Selama itu Anne menangis terus, tanpa sanggup mengatakan apa-apa. Ia teringat pada George, yang mengalami kejadian seperti itu beberapa hari yang lalu. Sekarang ia dan Julian yang terjebak' Tiba-tiba Anne menatap Bu Reynold dengan mata yang basah karena menangis. "Kami - kami sungguh-sungguh tidak berniat jahat, Bu" katanya lirih. "Hah! Aku tidak percaya!" bentak wanita pemilik pertanian itu. "Aku akan menelepon polisi, supaya datang kemari. Simpan saja ocehan kalian untuk pemeriksaan nanti!" Julian bingung sekali. Bukan karena polisi. Tidak! Ia yakin, kekeliruan Bu Reynold yang menyangka bahwa ia dan Anne datang ke tempatnya untuk mencuri ayam, pasti akan dapat dijelaskan dengan segera. Jadi bukan persoalan itu yang membingungkan perasaannya. Ia bingung mengingat Herman serta kawanannya. Jika ketiga penjahat itu benar-benar ada di sekitar situ, pasti saat ini sudah cepat-cepat lari. Mereka tentu curiga mendengar keributan di tempat pertanian. Dan kalau mereka sampai lari, itu berarti usaha Lima Sekawan sia-sia belaka! Karena itu untuk terakhir kalinya Julian berusaha meyakinkan Bu Reynold. "Suruh para pekerja Anda supaya tenang dan berjaga-jaga menunggu kedatangan para perampok itu! Mudah-mudahan saja belum terlambat. Jika mereka masih menunggu sampai sekarang, ada kemungkinan kita masih bisa menyergap mereka." Bu Reynold malah menertawakannya secara terang-terangan. "Fantasimu memang luar biasa," katanya pada Julian. "Tapi aku tidak bisa kautipu! Simpan saja dongengmu untuk kauceritakan pada polisi nanti! Aku ingin tahu. apakah mereka mau mempercayaimu. Yang jelas, aku tidak!" Walau mereka meronta-ronta, namun Julian dan Anne tidak bisa mencegah diri mereka diseret ke dalam rumah. Ru Reynold langsung menelepon polisi. Petugas yang melakukan dinas jaga malam itu berjanji akan datang dengan segera. Paling lambat seperempat jam lagi ia pasti sudah ada di tempat pertanian, katanya. "Nanti kalau kedua penjahat remaja itu sudah mengaku, mereka akan dibawa ke kantor polisi, sehingga setelah itu Anda bisa tidur lagi dengan tenang," kata polisi itu. Bab 14 PENJAHAT BERAKSI George, Dick dan Timmy menunggu terus di tempat persembunyian mereka, dekat villa 'Mon Trésor' Dick menunggu sambil terkantuk-kantuk. George menggigit-gigit kukunya, karena sudah tidak sabar lagi. Ia merasa, sebentar lagi pasti terjadi sesuatu. Tiba-tiba sikap Timmy berubah. Bulu tengkuknya tegak. George buru-buru memegang moncongnya, agar anjing itu tidak menggeram. "Awas, Dick," bisiknya dengan pelan, sambil menyenggol saudara sepupunya yang sudah setengah tidur. "Ada orang datang!" Benarlah! Mereka melihat sesosok bayangan melintas di jalan. Hanya satu orang. Mana penjahat yang dua lagi? "Awas, Dick!" bisik George sekali lagi. Dick memperhatikan sosok tubuh orang yang datang itu. Ia menggosok-gosok matanya, karena merasa pasti salah lihat. Tapi ternyata tidak ia tidak salah lihat! Orang yang datang itu memang Robert, pengantar telegram! Ternyata pendapat George memang tepat. Robert itulah penjahat nomor tiga! Dan wanita yang akan dirampok, ternyata memang Bu Grant. George dan Dick menunggu tanpa bergerak sedikit pun di balik semak. Dengan perasaan tegang mereka menunggu perkembangan selanjutnya. Robert sama sekali tidak sadar bahwa ia sedang diintai. Ia menghampiri pintu gerbang - lalu menekan bel. Beberapa saat kemudian larnpu yang terdapat di atas pintu depan villa menyata pintu terbuka, dan Bu Grant melangkah ke luar. "Siapa itu?" serunya. "Pengantar telegram, Bu. Saya mengantarkan telegram untuk Anda. Anda perlu menandatangani surat tanda terima." Sambil mengomel Bu Grant pergi ke pintu gerbang. Dengan sikap curiga diperhatikannya pengantar telegram itu dan kepala sampai ujung kaki. Sikapnya itu beralasan. Siapa pun bisa menyamar menjadi pengantar telegram. Pokoknya memakai pakaian seragam petugas pos, beres! Tapi surat tanda terima hanya mungkin dibawa pengantar telegram asli! Diterangi cahaya samar yang memancar dari pintu depan. Bu Grant memperhatikan sampul telegram serta surat tanda terimanya. Kelihatannya memang asli. Sekarang ia tinggal membubuhkan tanda tangan. Tapi untuk menulis, penerangan di situ kurang jelas. Dan mungkin telegram itu memerlukan jawaban. Kebetulan pengantar telegram masih ada di situ.... "Tunggu, akan kubukakan gerbang ini," kata Bu Grant, lalu kembali ke rumah untuk mengambil anak kunci. George dan Dick saling berpandangan. Ternyata Robert tidak bertugas memancing Bu Grant agar meninggalkan rumahnya, melainkan agar wanita itu membuka pintu gerbang. Apakah yang bisa mereka lakukan sekarang? Berteriak, untuk memperingatkan Bu Grant? Tidak - sebaiknya mereka menunggu sampai ada kesempatan yang lebih baik. Beberapa saat kemudian Bu Grant sudah datang lagi, membawa anak kunci. Ia membuka pintu gerbang, lalu... kejadian yang menyusul sesudah itu berlangsung dengan begitu cepat, sehingga George dan Dick nyaris tidak bisa mengikutinya. Begitu Robert dipersilakan masuk oleh Bu Grant, wanita itu langsung disungkupnya dengan selimut yang ternyata sengaja dibawa untuk maksud itu. Saat itu juga Leo dan Herman muncul dari tempat gelap dan ikut meringkus Bu Grant. Dengan cepat ia diikat, lalu diseret masuk ke dalam rumah. Dick dan George masih bisa mendengar kata-kata Leo yang diucapkan dengan nada mengejek "Maaf, tapi kami memang biasa mengadakan kunjungan secara tiba-tiba," katanya. "Nah, jangan meronta-ronta lagi sekarang. Percuma saja Anda memberontak. Anda tidak bisa apa-apa lagi sekarang. Dan semula kami sudah tahu bahwa Anda memasang jebakan alarm di kebun Anda. Tapi kami ini bukan orang kemarin - tak mungkin kami terperangkap jebakan seperti itu! Kami selalu masuk lewat pintu depan?" "Diam, Leo!' bentak Herman. "Lebih baik kau membantu aku!" Dick dan George melihat betapa Bu Grant diseret masuk ke rumah oleh ketiga penjahat itu. Dengan segera George berpaling, berbicara pada Dick. "Kita harus segera bertindak, Dick!" katanya. "Sekarang kau cepat-cepat pergi dengan sepedamu ke kantor polisi, untuk melaporkan kejadian ini! Kalau tidak, perhiasan Bu Grant pasti lenyap!" "Lalu kau sendiri?" tanya Dick dengan heran. "Apa yang akan kaulakukan?" "Aku tetap tinggal di sini bersama Timmy, untuk mengawasi rumah. Apabila para penjahat nanti ternyata melarikan diri sebelum kau kembali bersama polisi, aku akan membuntuti mereka!" "Tapi itu kan berbahaya!" kata Dick kaget. "Kau punya usul lain?" tukas George. "Bagaimana jika mereka tadi datang dengan mobil?" tanya Dick. "Aku tidak mendengar bunyi mesin. Sudahlah, jangan bicara lagi - keadaan sudah sangat mendesak! Ayo cepat berangkat! Kalau keadaan nanti menjadi gawat, kan masih ada Timmy! Ia akan melindungi diriku!" Dick tidak membantah lagi. Ia berangkat dengan sepedanya. George menunggu sampai Dick sudah tidak kelihatan lagi. Setelah itu ia meninggalkan tempat persembunyiannya, lalu menyelinap menghampiri pintu gerbang. George memandang berkeliling. Tapi ia tidak melihat apa-apa. Keadaan di sekeliling villa itu sudah sunyi-senyap kembali. Tapi kesunyian yang mencengkam perasaan! Para penjahat memadamkan lampu yang terdapat di atas pintu depan. Kegelapan yang pekat menyelubungi George. Anak itu berdiri dengan jantung berdebar keras. Apakah yang dapat dilakukan olehnya, apabila nanti para penjahat itu ternyata melarikan diri dengan harta hasil rampokan mereka sebelum polisi datang? Sementara itu Dick mengayuh sepedanya dengan sekuat tenaga. Ia merasa tidak enak meninggalkan George seorang diri di villa 'Mon Trésor'. Anak itu sering berbuat nekat, pikirnya. Tapi perjalanan kembali ke sana nanti pasti akan lebih cepat dari sekarang. Polisi pasti akan mengajakku dengan mobil mereka. Pokoknya, aku sekarang perlu cepat-cepat sampai di kantor polisi, katanya dalam hati. Kantor polisi yang baru letaknya agak di luar desa Kirrin. Sesampai di sana Dick cepat-cepat meloncat turun dan sepedanya. Tubuhnya bersimbah keringat. Tapi ia merasa puas, karena jarak antara villa dan kantor polisi ditempuhnya dalam waktu yang sangat singkat. Dick menekan bel yang terpasang di samping pintu kantor polisi. Ia menunggu beberapa saat. Tapi tak ada polisi yang datang membuka pintu. Karena itu ia menekan bel sekali lagi, tapi masih tetap tak ada yang muncul. Kini ia menggedor-gedor pintu. Ke manakah petugas polisi yang berdinas malam itu? Dick merasa bingung. Ia memerlukan bantuan dengan cepat. Soalnya, ia sendiri bersama George takkan mampu menghadapi ketiga penjahat yang merampok Bu Grant. Karenanya ia terus menggedor-gedor pintu, diseling dengan penekanan bel. Masakan di kantor polisi sama sekali tidak ada orang! Akhirnya ia mendengar bunyi jendela dibuka. Ketika mendongak, dilihatnya seorang laki-laki tua menjulurkan tubuh dari jendela rumah sebelah. "Ada apa nibut-ribut, Nak?" "Saya perlu menghadap polisi! Tapi kelihatannya sama sekali tidak ada orang di sini!" seru Dick dari bawah. "Wah - tadi polisi dipanggil ke pertanian Bu Reynold! Aku tahu pasti, karena aku kebetulan ada di sebelah ketika Bu Reynold menelepon!" "Bu Reynold?" kata Dick dengan nada kaget. Tiba-tiba ia merasa tidak enak. "Ada apa di sana?" "Menurut Bu Reynold, ada dua pencuri ayam yang tertangkap tangan," kata laki-laki tua itu. "Jadi jika kau perlu bicara dengan polisi, sebaiknya kau menyusul saja ke sana! Siapa tahu, mungkin kau bernasib baik dan mereka masih ada di sana!" Setelah itu jendela ditutup kembali. Tapi selama beberapa saat Dick masih berdiri seperti terpaku di depan pintu kantor polisi. Berbagai pikiran melintas dalam kepalanya. Akhirnya ia memutuskan bahwa ia harus bertindak. Karena itu ia cepat bersepeda lagi. Kali ini menuju ke pertanian milik Bu Reynold. Rumah tinggal wanita itu dilihatnya terang benderang. Rupanya Julian dan Anne juga sedang sial, pikir Dick dengan lesu. Tapi ia tidak ada waktu untuk mencari mereka sekarang, karena ia harus cepat-cepat menyampaikan laporan pada polisi! Dick melemparkan sepedanya dengan begitu saja di pekarangan, lalu lari menuju rumah Ru Reynold. Pintu depan rumah menganga lebar. Dick melesat masuk. Detik berikutnya ia tertegun. Polisi yang dicarinya ternyata memang ada di situ. Mereka sedang sibuk memeriksa kedua orang yang dituduh mencuni ayam. Dan itulah yang menyebabkan Dick kaget setengah mali. Soalnya, kedua orang itu - Anne dan Julian! "Anne! Ju!" seru Dick. "Kenapa kalian diperiksa - polisi?" "Pemilik rumah ini mengatakan bahwa kami hendak mencuri ayamnya!" kata Julian dengan wajah masam. "Lucu sekali!" "Katakanlah pada mereka ini, Dick - siapa kita sebenarnya," kata Anne yang sudah hampir menangis. Polisi yang memimpin rekan-rekannya di situ menoleh ke arah Dick. "Kau ini siapa?" tanya polisi itu dengan kening berkerut. Agak lama juga Dick berusaha menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Persoalannya berbelit-belit, sehingga suatu saat ia bahkan sampai menyangka bahwa ia pun akan ditangkap. Tapi karena keterangannya sesuai dengan keterangan Julian dan Anne sebelumnya, polisi membiarkan Dick menjelaskan lebih lanjut. Dengan jalan begitu ia berhasil juga menyampaikan laporan tentang perampokan yang saat itu sedang berlangsung di villa 'Mon Trésor' Bu Reynold ikut mendengarkan keterangan Dick dengan penuh perhatian. Ia mulai ragu. Anak-anak itu kenyataannya memang tidak bertampang maling ayam.... "Percayailah kata-kata saya ini!" kata Dick sepenuh hati. "Kalau saya berniat jahat masakan saya malah mencari polisi! Kalian harus berangkat dengan segera ke villa 'Mon Trésor'! Bu Grant sudah diringkus para penjahat itu. Dan mungkin saudara sepupuku yang menunggu di sana kini juga sudah terancam keselamatannya. Kalau Anda bergegas, mungkin para penjahat bisa tertangkap tangan." Polisi memutuskan untuk menyelidiki soal itu sampai tuntas. Mereka cepat-cepat minta diri dari Bu Reynold. Ketiga anak itu disuruh masuk ke dalam mobil, yang setelah itu melaju menuju tempat kediaman Bu Grant. Bab 15 AKAL BU GRANT Sementara itu di tempat Bu Grant George sudah bosan menunggu. Ia merasa kesal, karena harus berdiri terus dekat gerbang, tanpa berbuat apa-apa. Padahal pintu gerbang terbuka lebar.... George sudah tidak tahan lagi. Sambil memegang kalung leher Timmy ia menyelinap menyusur jalan masuk ke villa. Jantungnya berdebar keras. Tapi George tidak merasa takut sama sekali. Rasa ingin tahunya seperti biasa kembali mengalahkan akal sehatnya, yang mengatakan bahwa ia perlu berhati-hati. George berhenti ketika sudah sampai pada jarak beberapa meter saja lagi dari pintu depan villa. Kini ia dapat melihat cahaya samar yang menembus tirai yang tertutup. George menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik pada anjingnya. "Yuk, Tim - kita memeriksa keadaan di dalam!" Sambil berjingkat-jingkat ia menghampiri villa. Akhirnya ia berada di bawah jendela kamar yang diterangi sinar lampu. George berjingkat di atas sebuah batu besar yang ada di situ. Dengan jalan demikian ia bisa mengintip ke dalam kamar, lewat celah tirai yang tersingkap sedikit. George kaget sekali, ketika melihat Bu Grant. Wanita yang galak itu duduk di kursi, dalam keadaan terikat! Di depannya berdiri ketiga penjahat. Leo, Herman dan Robert! Jendela itu tidak tertutup. Saat George sedang mengintip ke dalam, didengarnya suara Bu Grant yang berbicara dengan berani. "Kalian pengecut! Bertiga melawan seorang wanita yang sendirian!" tukasnya. "Jangan banyak bicara!" bentak Herman. "Kami datang ke sini bukan untuk mengobrol, melainkan untuk mengambil jamrud itu. Nah, di mana Anda taruh kotak perhiasan itu? Ayo jawab!" "Aku tidak mengerti, jamrud mana yang kaumaksudkan " balas Bu Grant dengan ketus. "Sekarang lepaskan aku, lalu cepat pergi dari rumah ini!" Leo tertawa mengejek. "Jangan suka berpura-pura, Bu!" katanya dengan sikap kurang ajar. "Kami bukan orang baru di bidang ini. Kami tahu pasti, apa yang kami bicarakan. Di rumah ini ada kotak perhiasan berisi kalung jamrud yang dihadiahkan Ratu Victoria pada salah seorang moyang Anda! Nah - percaya sekarang bahwa kami tidak main-main? Aye cepat - serahkan harta itu!" "Kalau kalian begitu pintar, mestinya kalian bisa dengan gampang menemukan sendiri perhiasan itu," kata Bu Grant dengan nada dingin. "Cari saja kalau bisa!" "Hebat." gumam George yang mengintip dari balik jendela. "Bu Grant tabah sekali! Sayang kau tidak bisa melihat tampang ketiga penjahat itu, Tim! Mereka tercengang menghadapi keberanian wanita itu Konyol sekali tampang mereka!" Di dalam kamar, Herman berteriak dengan marah. "Anda menyesal nanti, kalau tetap nekat tidak mau mengatakan di mana Anda menyimpan perhiasan itu!" ancamnya. "Kami bisa memaksa Anda membuka mulut!" kata Robert ikut-ikutan. "Coba saja!" tantang Bu Grant. "Anda keras kepala! Tapi kami juga pantang menyerah!" bentak Leo. "Cukup!" teriak Herman, memotong perbantahan itu. "Kita geledah saja rumah ini! Tapi kalau nanti kami masih tetap tidak berhasil menemukannya - pokoknya, saya tidak kepingin menjadi Anda saat itu!" George mendengar bunyi langkah para penjahat berjalan meninggalkan ruangan. Beberapa saat kemudian lampu dinyalakan di tingkat satu. Barangkali para penjahat hendak mencari perhiasan itu di kamar tidur, pikir George. Jadi Bu Grant pasti sendiri sekarang di ruang duduk. lnilah kesempatan yang ditunggu oleh George sedari tadi! "Timmy kau harus menunggu di sini, ya!" bisiknya pada Timmy. "Aku hendak masuk ke dalam." George naik ke ambang jendela, lalu langsung masuk ke ruang duduk. Ia bergerak dengan hati-hati sekali. Tapi Bu Grant ternyata mendengarnya. Ia menatap George dengan mata terbelalak karena kaget. Dengan segera George menempelkan telunjuknya ke bibir. "Ssst!" desisnya. "Jangan bicara!" "Biar aku berteriak pun, takkan ada orang yang bisa mendengarnya di sini!" tukas Bu Grant. "Para penjahat mengetahui hal itu, sehingga mereka merasa tidak perlu menyekap mulutku. Dan dugaanku semula ternyata benar - kau memang termasuk dalam komplotan mereka. Aku tidak gampang tertipu!" "Sssst, jangan keras-keras, Bu Grant!" kata George. "Ketika aku waktu itu kemari, maksudku hendak memperingatkan Anda terhadap perampokan ini. Tapi Anda tidak mau percaya padaku!" Bu Grant menatap mata George. Saat itu barulah disadarinya bahwa anak itu tidak berbohong. Bu Grant memang selalu merasa curiga pada siapa pun. Ia selalu menduga yang tidak-tidak tentang orang lain. Juga terhadap George, yang dan semula bermaksud membantu. Tapi setelah ia menyadari kekeliruannya, ia langsung bersedia mengakui. "Sekarang aku percaya padamu! Tapi sayang, sudah terlambat!" desah wanita itu. "Kau harus lekas-!ekas pergi dan sini, agar jangan ketahuan para penjahat!" George tersenyum. Ia sama sekali tidak takut. "Bahkan sebaliknya, aku tadi memang sengaja masuk,"katanya. "Aku datang untuk menolong Anda. Jangan takut, saudara sepupuku tadi sudah pergi memanggil polisi. Setiap saat mereka pasti akan sudah sampai di sini..." Sambil berbicara, George mengeluarkan pisau sakunya, untuk memotong tali yang mengikat tubuh Bu Grant. "Nanti dulu!" cegah Bu Grant. "Eh! Kenapa Anda tidak mau dibebaskan?" tanya George heran. "Aku punya ide yang lebih baik," jawab Bu Grant sambil berbisik, "Kau kan mengatakan, saudaramu sudah pergi mernanggil polisi. Para penjahat mengincar perhiasanku. Jika mereka sudah berhasil menemukannya, mereka pasti akan cepat-cepat pergi dari sini! Aku bukan hanya ingin menyelamatkan kalung jamrudku,tapi juga berusaha agar ketiga penjahat tadi tertangkap. Jadi mereka sama sekali tidak boleh tahu bahwa kau ada di sini. Kau sekarang harus mengambil perhiasanku itu, lalu cepat-cepat lari. Para penjahat pasti tetap ada di sini selama mereka belum berhasil. Biar rurnah ini mereka bongkar sampai berantakan, perhiasan itu tetap saja takkan bisa mereka temukan, karena sementara itu kau sudah mengambilnya. Kalau mereka sudah kesal nanti, mereka akan kembali ke sini untuk memaksaku mengatakan di mana aku menyembunyikannya. Mereka tentu akan memeriksa ruangan ini pula. Itu jelas memakan waktu. Mudah-mudahan saja aku bisa menyibukkan mereka terus, sampai polisi datang. Tapi di pihak lain, rencanaku ini cukup berbahaya. Aku ragu untuk mengatakan padamu, di mana kalung jamrud itu kusembunyikan. "Karena takut kucuri nanti?" tanya George. "Karena aku takut bahwa kau nanti disergap penjahat!" kata Bu Grant sambil mengeluh. "Kalau tentang itu. Anda tidak perlu khawatir! Mereka pasti takkan bisa menangkap aku. Percaya deh!' Bu Grant kelihatannya tidak begitu yakin. Ketiga penjahat itu begitu licik dan berbahaya. Bu Grant masih tetap ragu. Ia tidak mau melibatkan George dalam bahaya. "Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi!" desak George. "Kurasa kotak perhiasan itu tidak Anda sembunyikan dalam kamar tidur. Sebab kalau di situ, pasti sudah terdengar para penjahat berseru-seru dengan gembira sekarang." Akhirnya Bu Grant membulatkan sikap. "Kau benar!" katanya dengan serius "Kalau tidak segera diambil tindakan, bisa terlambat kita nanti. Perhiasanku itu kusembunyikan dalam gudang di loteng. Kuletakkan di atas sebuah balok penopang atap. Kau bisa menemukannya dengan gampang. Begitu kau masuk, letaknya persis di sebelah kiri pintu. Tapi tangga ke loteng terjal sekali. Letak tangga itu di ujung gang, di samping pintu dapur. Sekarang cepatlah! Tapi hati-hati. Aku tidak ingin nanti terjadi apa-apa dengan dirimu." Bu Grant tersenyum, lalu menambahkan, "Baru saja terlintas dalam pikiranku bahwa keadaan ini sebenarnya kocak. Kita menyelamatkan harta yang dicari perampok dari depan hidung mereka, walau aku berada dalam keadaan terikat di sini. Tapi sekarang cepatlah!" George meninggalkan ruangan itu. Ia pergi ke pintu depan, lalu membukanya dengan berhati-hati. Maksudnya hendak memanggil Timmy. Tapi ternyata tidak perlu lagi, karena anjing setia itu sudah nenunggu di depan pintu. George berbalik, lalu menyelinap menuju ke tangga. Timmy mengikutinya tanpa berbunyi sedikit pun. Sambil mengendap-endap mereka mendaki tangga sampai ke loteng. Mereka harus hati-hati sekali, karena kayu anak tangga yang mereka lewati sudah tua dan kering. Setiap kali George berhenti melangkah sejenak, kalau anak tangga berderak ketika dipijak. Dengan tegang ia memasang telinga. Tapi ia tidak mendengar bunyi yang mencurigakan. Akhirnya ia sampai di ujung atas tangga. Para penjahat sama sekali tidak muncul. Dengan hati-hati George mendorong pintu loteng sehingga terbuka. Ternyata engsel pintu jarang diberi minyak. Bunyinya agak mendecit ketika dibuka. George menahan napas. Tapi ketiga penjahat itu masih terdengar sibuk mengaduk-aduk isi kamar tidur di tingkat satu. George menyalakan senter yang dibawanya, lalu menyorotkannya ke sekeliling ruangan gudang. Nah - itu sakelar lampu. Dengan segera lampu dinyalakan olehnya, supaya ruangan itu lebih terang. Keadaan di situ sangat rapi, dengan koper, peti dan berbagai kotak yang ditumpukkan. George mengambil sebuah bangku yang terdapat di sudut ruangan. Bangku itu diletakkannya ke sebelah kiri pintu, lalu ia naik ke atasnya. Timmy memperhatikan segala gerak-gerik tuannya dengan penuh minat. George meraba-raba permukaan balok sebelah atas. Tiba-tiba ia berseru dengan gembira. Tapi tentu saja tidak keras-keras! "Aku sudah menemukannya, Tim!" George meloncat lurun. Tangan kanannya memegang kotak kulit. Menurut kata Bu Grant tadi, di dalamnya terdapat perhiasan yang diincar para perampok. George membuka kotak itu dengan tangan gemetar. Sesaat ia terkedip-kedip, ketika menatap kalung jamrud yang sangat indah. Warnanya hijau kemilau menyilaukan. ltulah dia, jamrud hadiah Ratu Victoria pada salah seorang moyang Bu Grant, yang olehnya dibuat menjadi kalung. "Luar biasa!" bisik George. "Kau pernah melihat barang seindah ini, Timmy? Tapi sekarang kita harus cepat-cepat menyelamatkannya!" Tapi saat itu juga napasnya tersentak. Ia mendengar bunyi langkah di tangga. menuju ke pintu loteng! Timmy berdiri dengan sikap siap untuk menerjang. Bulu tengkuknya berdiri semua. Ia menggeram dengan galak. Sementara itu George memandang berkeliling dengan perasaan bingung. Ia mencari-cari jalan keluar yang Pain. Tapi di ruangan itu tidak ada pintu lagi, kecuali yang menuju ke tangga. Di atap ada tingkap. Letaknya tepat di atas kepalanya. Tapi ia tidak bisa menjangkaunya, karena terlalu tinggi - juga apabila ia berdiri di atas bangku. Waktu semakin mendesak, karena langkah orang yang datang itu semakin dekat. Terdengar anak tangga berderik-derik, seperti berkeluh kesah diinjak kaki seseorang bertubuh kekar! "Pasti ada orang di atas! Percayalah - aku kan tidak tuli." Dari suaranya, George menduga bahwa yang berbicara itu Robert. "Nah. Lihatlah - lampu di dalam menyala!" "Kusangka waniaa itu tinggal seorang diri di sini," kata Leo. "Keterlaluan!" "Biar aku dulu yang masuk!" kata Herman. Pintu dibukanya dengan tiba-tiba.Tahu-tahu seekor anjing besar melesat lari ke luar, menyusup di sela kakinya. Nyaris saja Herman terjatuh. Ia berteriak marah. Tapi setelah itu ia tertawa terbahak-bahak. "Ah - ternyata yang ada di sini cuma seorang anak saja!" "Nanti dulu! Aku pernah melihat dia!" kata Robert, yang masuk setelah Herman. "Dia itu dari desa Kirrin! Mau apa dia di sini?" "Mungkin masih keluarga Bu Grant!" kata Leo. Ketiga penjahat itu menatap George dengan mata melotot. Saat itu Herman melihat bangku yang terletak di bawah balok penunjang atap. Wajahnya langsung berseri-seri. "Anak ini ternyata hendak mengambil jamrud yang kita cari!" katanya dengan gembira. "Ia hanya sedikit lebih cepat dari kita. Lihatlah - itu kotaknya, terletak di lantai." Kedua temannya tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Mereka pun melihat kotak kulit itu. Sementara itu George duduk berlutut di samping bangku, menghadapi kotak yang tertutup. "Ah - rupanya kotak perhiasan itu disembunyikan di atas balok! Cepat, serahkan padaku!" bentak Herman pada George. Tapi anak itu malah cepat-cepat menyambar kotak itu, lalu mendekapnya. "Seenaknya saja memerintah!" tukasnya dengan berani. "Kau berani menantang, ya!? Lebih baik kaupakai otakmu! Apa sebabnya anjingmu tadi cepat-cepat lari di sini? Ia pintar, tahu bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kami. Kami bisa bertindak kasar, jika ada yang tidak mau menuruti kehendak kami. Sekarang serahkan kotak itu Cepat!" Herman mengulurkan tangannya, lalu dengan kasar merampas kotak yang didekap oleh George. Mata penjahat bertubuh kekar itu berkilat-kilat, ketika ia membuka kotak itu. Ia tertawa nyengir. Tapi air mukanya Iangsung berubah, ketika nelihat bahwa dalam kotak itu sama sekali tidak ada apa-apa! Dengan muka merah karena marah, Herman berpaling ke arah George. "Mana jamrudnya!" katanya membentak. "Ayo serahkan dengan segera, kalau tidak ingin menyesal nanti!" "Jamrud? Jamrud apa?" tanya George dengan wajah heran. "Jangan sangka kau bisa menipu kami,ya?!" bentak Herman. Ia berpaling pada kedua kawannya. "Cepat, periksa seluruh gudang ini! Perhiasan itu pasti ada di sini. Robert, geledah anak itu!" Robert menyuruh George membalikkan semua kantongnya. Ternyata kalung jamrud itu tidak ada pada dirinya Sementara itu Herman dan Leo rmengaduk-aduk seluruh gudang. Kotak-kotak dirobek, koper-koper dibongkar. Setiap sudut ruangan diteliti dengan cermat Tapi sia-sia belaka. Perhiasan berharga itu tidak ada di situ! Kini Herman datang mendekati George. "Mana kalung jamrud itu?" ulangnya bertanya dengan nada mengancam. "Ketika aku tadi membuka kotak itu, memang sudah kosong," kata George dengan gaya seperti orang yang tersinggung karena dituduh berbohong. "Itu katamu... tapi aku ingin tahu yang sebenarnyal Ayo, ikut ke bawah! Biar Bu Grant sendiri yang mengatakan, apakah kotak itu memang kosong atau tidak!" Herman mencengkeram lengan George Anak itu diseretnya menuruni tangga, menuju kamar duduk di tingkat bawah. Bu Grant yang ada di situ, sedari tadi sudah cemas saja mendengar bunyi ribut-ribut serta bentakan yang terdengar di tingkat atas. Ia langsung menyangka, George pasti tertangkap penjahat. Oleh karena itu ia sama sekali tidak kaget ketika anak itu masuk sambil didorong-dorong penjahat. Dengan marah Herman mendorong George ke depan Bu Grant. "Anak ini menemukan kotak perhiasan itu di loteng. Tapi perhiasannya sendiri tidak ada lagi!" bentak penjahat itu. "Kalian kira aku ini tolol, ya." balas Bu Grant dengan nada menghina "Anak ini kan termasuk komplotanmu! Ia tadi berusaha mengorek keterangan dariku, di mana aku menyimpan jamrud itu. Saat itu aku lantas teringat pada kotak kosong yang kutaruh di gudang, lalu kukatakan padanya bahwa di situlah aku menyimpan perhiasanku itu. Sudah, menyerah sajalah! Kalian takkan bisa memaksaku berbicara" Kini Leo sudah tidak sabar lagi. "Anak ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kami" bentaknya. "Tapi sedari tadi aku sudah menyangka bahwa ia bekerja sendiri, hendak mencuri permata itu. Tapi ia pun tidak berhasil menemukannya." "Kelihatannya memang begitu!" gumam Robert "Ketika pintu kita buka tadi ia sedang berlutut di lantai, di samping kotak yang kosong. Tak mungkin ada waktu baginya untuk menyembunyikan permata itu di salah satu tempat!" Ucapan Robert itu meyakinkan Herman Karena itu kini ia mengalihkan perhatiannya kembali pada Bu Grant. "Nah - sekarang soalnya tinggal antara kita berdua!" desisnya dengan sengit. "Jika Anda tidak dengan segera mengatakan di mana Anda menyembunyikan kalung jamrud itu, aku nanti terpaksa mengambil tindakan lain. Anda akan kutahan tanpa diberi makan dan minum di ruangan bawah tanah, sampai Anda mau membuka mulut. Di situ Anda bisa berpikir-pikir. Waktuku banyak. Tapi Anda tidak. Jadi terserah." Secara sembunyi-sembunyi Bu Grant melirik ke arah jam dinding. Ia harus bertahan terus, mengulur waktu. Polisi sebentar lagi pasti datang. Ia harus mencari siasat baru. "Baiklah," katanya sambil mengeluh, seolah-olah sudah putus asa. "Kalian menang! Permata itu kusembunyikan di tempat lain, yang tidak gampang dicapai. Kotak kosong di atas balok itu memang sengaja kupasang sebagai jebakan untuk pencuri! Sedang kalung itu sendiri kusembunyikan di dalam tempat pendiangan di kamar tidurku." "Yang paling langsing di antara kalian bertiga harus masuk ke dalam tempat pendiangan itu," sambungnya dengan lesu, "lalu membongkar sebuah bata temboknya dengan palu dan pahat. Batu itu yang kesembilan belas dari bawah dan keempat dari kiri. Peralatan ada di garasi, di tempat bagasi mobilkul" Leo dan Robert sudah hendak cepat-cepat berangkat mengambil peralatan itu. Tapi Herman memanggil mereka kembali. "Nanti dulu! Sebelumnya, anak ini masih harus kita ikat. Aku tidak mau ia minggat sebelum kita menemukan perhiasan itu lalu lari dari sini. Biar ia menemani Bu Grant. Kesedihan kan tidak begitu terasa, apabila ditanggung berdua. Nanti aku sendiri yang akan memberitahukan pada polisi tentang nasib malang mereka berdua. Lewat telepon, tentunya!" Herman tertawa mengejek. Ia mengusap-usap kedua tangannya dengan sikap puas. melihat kedua kawannya mengikat George pada sebuah kursi yang diletakkan di samping Bu Grant. Setelah itu para penjahat ke luar, untuk mengambil peralatan dan garasi. Bab 16 HIDUP TIMMY! "Di mana sebetulnya kalung itu kautaruh?" tanya Bu Grant pada George, ketika langkah ketiga penjahat itu tidak terdengar lagi. "Pokoknya di tempat yang aman!" jawab George. "Tapi Anda tadi menyebutkan tempat persembunyian perhiasan lain Bu?" "Ah, mana!" balas Ru Grant. "Aku cuma ingin menyibukkan mereka saja, sampai polisi datang!" "Mudah-mudahan saja mereka tidak sudah lebih dulu menyadari bahwa mereka tertipu, Bu. Sssst! Mereka datang lagi!" Tapi ketiga penjahat itu tidak bermaksud masuk ke ruang duduk. Mereka hendak cepat-cepat mengambil perhiasan, lalu melarikan diri. Perhatian mereka kini sepenuhnya tertuju pada tempat pendiangan di kamar tidur! Beberapa saat kemudian terdengar bunyi ketukan berisik di tingkat satu - Bu Grant tertawa puas. "Tembok di bagian dalam tempat pendiangan tebal sekali!" katanya. "Dan bunyi ketukan itu berisik sekali. Pasti tak terdengar nanti bunyi mobil polisi yang datang. Tapi kenapa lama sekali mereka muncul!" George diam saja. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi gemerisik di luar. Ada orang datang, pikirnya. Mudah-mudahan saja itu Dick dengan polisi. Yang datang itu memang Dick, beserta Anne dan Julian. Dengan hati-hati mereka menyelinap, menghampiri villa 'Mon Trésor'. Beberapa polisi mengikuti mereka . Kepala polisi memberi isyarat pada anak buahnya. "Pintu depan terbuka!" bisiknya. "Kita masuk ke dalam, lalu menyergap para penjahat itu." Ia berpaling ke arah Julian serta kedua adiknya. "Kalian menunggu di luar, ya!" Setelah itu ia menyerbu ke dalam dan langsung membuka pintu kamar duduk. Ia melongo, ketika melihat kedua tawanan yang terikat di situ. "Cepat!" kata Bu Grant, sementara kepala polisi belum sepenuhnya sadar kembali dan kekagetannya. "Kami tidak apa-apa. Kejar saja penjahat-penjahat itu. Ikuti saja bunyi berisik, di situ mereka berada! Mereka di kamar tidurku, di tingkat satu!" Kepala polisi itu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan pistol di tangan ia bergegas-gegas menaiki tangga ke atas, diikuti anak buahnya. "Angkat tangan!" Dengan sekali lompat, ia sudah berada di tengah kamar tidur Bu Grant. Herman dan Leo terkejut, lalu menoleh. Mereka langsung menyerah, ketika melihat pistol di tangan para polisi. Dengan cepat mereka sudah diborgol. Robert ditarik dari dalam tempat pendiangan. Seluruh tubuhnya yang hitam kena angus gemetar ketakutan. Julian, Anne dan Dick menunggu dengan perasaan tidak sabar di luar Akhirnya mereka tidak tahan lagi, lalu ikut masuk ke rumah. "George pasti ada di dalam. Mungkin ia memerlukan bantuan!" bisik Dick sambil menyelinap di samping Julian. Anne mengikuti mereka dari belakang. Dengan segera Bu Grant dan juga George sudah mereka temukan di ruang duduk. Julian dan Dick mengeluarkan pisau saku masing-masing, lalu memotong tali pengikat Bu Grant dan George. "Aku sangat berutang budi pada kalian," kata Bu Grant terharu. "Padahal mulanya aku menyangka kalian yang hendak mencuri. Aku malu jika mengingatnya kembali!" "Mana Timmy?" tanya Anne pada George. "Ia tidak ikut denganmu tadi? Atau mungkin dikurung para penjahat itu?" George hendak menjawab, tapi tidak jadi. Karena saat itu juga polisi muncul kembali, menggiring ketiga penjahat yang sudah diborgol. "Ini dia para penjahatnya!" kata kepala polisi dengen puas. "Mereka tertangkap tangan - jadi tidak mungkin bisa mungkir lagi! Dan semuanya berkat jasa kalian berempat, Anak-anak! Jika kalian tidak waspada, takkan mungkin kami berhasil membekuk mereka!" Herman dan juga kedua kawannya menatap George sambil melongo. Mereka tidak mengerti, apa sebabnya anak itu diperlakukan dengan ramah oleh polisi. Pasti ada sesuatu yang tidak beres, pikir mereka. "Aku sama sekali bukan pencuri, bahkan sebaliknya!" kata George sambil tertawa. "Kami berempat yang mengatur siasat sampai kalian sekarang tertangkap!" Leo marah sekali, karena merasa tertipu. "Lalu kalung jamrud itu?" tukasnya dengan sengit. "Mana perhiasan itu, hah?" "Tak mungkin ada padanya!" kata Herman dengan sikap merendahkan. "Kalau soal menggeledah, kami ini ahlinya!" "Ya, betul juga," kata kepala polisi. "Tahukah kau di mana perhiasan itu berada, George?" George tersenyum, tapi tidak langsung menjawab. "Kata-kata Herman itu memang benar," katanya kemudian "Jamrud itu tidak ada padaku!" "Tapi kau tadi kan..." kata Bu Grant dengan kaget. Mukanya menjadi pucat pasi. Tanpa mempedulikan kekagetan wanita itu, George melanjutkan keterangannya, "Bahkan juga tidak ada di rumah ini!" Semua kaget mendengar ucapan itu. Semua sibuk bertanya. Kelihatan jelas bahwa George sangat menikmati perhatian yang begitu banyak terhadap dirinya. Akhirnya ia tertawa keras. "Aku memang tidak berbohong tadi ketika kukatakan bahwa kalung jamrud itu tidak ada di sini," ketanya. "Tapi itu tidak berarti bahwa perhiasan itu hilang. Tidak! Saat ini benda itu berada di suatu tempat yang tidak bisa didekati orang lain - tanpa risiko cedera!" Saudara-saudara sepupunya sudah tidak sabar lagi mendengar akhir keterangan George. "Kalung jamrud itu sekarang ada di Kirrin," sambung anak itu. "Jika Bu Grant mau mengantar kami ke rumah orangtuaku, nanti harta warisannya itu bisa kukembalikan padanya" Ucapannya itu begitu meyakinkan, sehingga tidak ada yang menyangsikan kebenarannya. Bu Grant bergegas naik ke atas untuk ganti pakaian, sementara polisi menggiring ketiga penjahat ke mobil. Dick, Anne dan Julian mengajak George menunggu Bu Grant di garasi. Dan beberapa menit kemudian nampaklah iring-iringan mobil di tengah malam, menuju ke Kirrin. Semua mampir sebentar di Pondok Kirrin. Kepala polisi menugaskan anak buahnya untuk mengawasi para penjahat, lalu ikut dengan anak-anak yang mengantarkan Bu Grant ke kandang anjing. Kepala polisi menyorotkan senternya, walau ia tidak mengerti apa sebabnya mereka justru datang ke situ. "Tim!" seru George memanggil anjingnya. "Keluarlah sebentar!" Mendengar panggilan itu Timmy langsung keluar. Ia senang sekali melihat George datang. Ia mengangkat kedua kaki depannya dan meletakkannya ke bahu George. Kecuali George, semua yang ikut datang ke situ tiba-tiba berseru kaget. Apalagi kepala polisi - matanya terbelalak! Mereka tercengang, karena melihat ada sesuatu melingkar di leher Timmy. Mereka melihat seuntai kalung jamrud yang indah sekali, kemilau kena sinar senter kepala polisi. "Ini dia kalung Anda," kata George pada Bu Grant. Dilepaskannya kalung itu dari leher Timmy, lalu diserahkannya pada Bu Grant. "Tadi ketika kudengar langkah para penjahat datang, aku langsung sadar bahwa aku tidak punya waktu lagi untuk menyembunyikannya. Karena itu aku lantas menggantungkannya ke leher Timmy, yang setelah kuperintahkan lari kembali ke kandangnya. Timmy selalu patuh kalau ku perintah." "Nah! Mudah-mudahan sekali ini Ayah tidak kembali mengatakan bahwa aku terlalu banyak berkhayal." TAMAT Edit by : zheraf http://www.zheraf.net